Bebas

Salsa Andhini
10 min readNov 14, 2021

--

Ilustrasi adalah milik penulis.

“SEMUA orang berhak meraih mimpi.”

Kalimat itu terpampang nyata di banner yang tergantung di atas gerbang sekolahku. Berwarna-warni meriah, dengan font atraktif, berhasil menarik atensi murid-murid maupun orang-orang yang datang di acara pentas seni sekolah yang digelar tiap tahun.

Aku menghela napas, berusaha merapikan rok abu-abuku yang terlihat sedikit lecek karena berdesakan menaiki kereta saat berangkat tadi. Setelah selesai, aku menarik dan menghela napas lagi. Ayo, kamu pasti bisa, batinku menyemangati.

Setelah beberapa pertimbangan, ditemani angin pagi sejuk yang bertiup — lengkap dengan beberapa daun beterbangan bagai musim gugur di negara-negara empat musim — aku melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah.

Kawasan sekolah terlihat ramai. Panggung cukup besar sudah siap di tengah-tengah lapangan, lengkap dengan beberapa atribut musik untuk mengiringi penyanyi. Kantin juga terlihat sibuk menyiapkan berbagai pesanan sarapan pagi untuk murid-murid yang belum sempat sarapan, ataupun mereka yang ke kantin untuk menyantap gosip terkini.

Tanpa menggubris itu semua, aku lantas melangkahkan kakiku menaiki tangga. Ruang kelas yang akan digunakan untuk acara pentas seni ini ada di 11 IPS 4.

“Eh, Na,” sapa salah seorang panitia pensi, ketua divisi Desain dan Relasi Publik, begitu aku tiba di ujung tangga. “Thanks ya. Anak-anak pada suka banget.” ucapnya pelan namun pasti, disertai seulas senyum.

Perkenalkan, namanya Zara. Berambut panjang ikal sebahu, primadona sekolah.

Ia lalu meraih tanganku untuk menyerahkan sebuah amplop cokelat.

“Lunas ya, Na. Tapi, nanti malam gue bakal butuh bantuan lo lagi — ”

Kalimat yang ujungnya sudah bisa kutebak itu terputus karena salah seorang panitia lain di divisi Desain dan Relasi Publik berseru semangat, “Wih, gue cariin lo kemana-mana, taunya ada di sini. Hebat betul, Bu Ketu! Desainnya bagus banget!”

Aku tahu kalau hatiku terasa nyeri saat mendengarnya. Namun, di saat aku bisa diam, kenapa juga aku harus menambah drama pagi ini?

Setelahnya, aku berlalu sambil bersuara pelan namun tegas pada Zara, “WhatsApp aja, kayak biasa.”

Begitu saja, Zara dan salah seorang stafnya itu sudah bersenang-senang mengenai hasil desain yang terlihat bagus menyemarakkan pensi hari ini. Aku mendengar kata “kerja keras” sayup-sayup dari balik tembok oleh Zara, dan tidak bisa tidak mendengus.

Siapa yang kerja keras mendesain, siapa yang memetik hasil, ha?

Perkenalkan, namaku Sinna. Desainer di belakang layar, dan si jago berpura-pura dari depan.

Selamat datang di kehidupanku yang menyedihkan.

Aku mematung di hadapan laptop. Pukul sepuluh malam, tapi mataku segar seperti terkena embun pagi. Keadaan dalam rumah sudah gelap — mayoritas keluargaku telah banyak yang memasuki kamar, siap tidur. Tersisa kamarku yang tetap menyala selama beberapa jam ke depan.

I don’t know, Na. Kayaknya warnanya kurang cerah gitu, ya? Gue merasa agak beda sama hasil desain banner lo yang udah dipajang untuk pensi hari ini.” Kalimat Zara tadi di telepon terngiang di benakku. Entah untuk ke berapa kali.

Perjanjian pembuatan desain pagi tadi berlanjut ke malam ini. Aku berhasil menyelesaikan desain tambahan sesuai request Zara, namun ternyata itu belum cukup. Sampai akhirnya perkataan Zara terucap tadi.

Aku menghela napas. Entahlah, aku merasa sejak kejadian tadi pagi, mood dan feel untuk mendesain berantakan. Sepertinya itu cukup mempengaruhi hasil desainku sehingga Zara yang biasanya mudah merasa puas dengan apa yang aku kerjakan, kini tidak merasa demikian.

Ding. Suara notifikasi ponselnya berbunyi. Aku membukanya dan sebuah chat dari Zara makin membuat buruk mood-ku, “Gimana, Na? Kita butuh maksimal jam 12 malam ini. Besok pagi-pagi mau naik cetak.”

Aku mendengus sebal, berdecak. Tanpa membalas, aku menegakkan tubuh. Kembali memandangi hasil desainku di layar laptop. Apa yang kurang? Sepertinya selama kurang lebih dua jam mendesain, ini sudah yang terbaik dariku. Kembali, aku menghela napas lalu memutuskan untuk membalas pesan Zara, “Tunggu ya. Pasti gue kirim hasilnya begitu sudah selesai.”

Setelahnya, aku terdiam. Pikiranku berkecamuk. Aku lantas melirik deretan piala di lemari kaca kamar, lalu beralih ke hasil karya ilmiah milikku dengan dua temanku di sekolah. Sebuah karya ilmiah berupa pembuatan bensin dari bahan plastik — dan berhasil diselesaikan persis hari ini tadi. Sebelum ditampilkan ke khalayak luas di acara pensi hari kedua besok.

Aku ingat betul ketika menginginkan untuk masuk ke divisi Desain dan Relasi Publik saat kali pertama pencarian staf untuk acara pensi sekolah, aku tersalip oleh Zara yang lebih dulu mendaftar dan sukses menjadi ketua divisi — meskipun tidak memiliki skill desain yang mumpuni. Di tengah kebingungan dan nyaris tidak ikut ambil bagian apapun, aku justru ditawari menjadi bagian karya ilmiah remaja untuk membuat hasil karya bertema sains.

Berusaha menjernihkan pikiran, aku mulai membenahi hasil desainku. Pikiranku terasa semrawut. Mulai lelah dan jenuh karena mendambakan kebebasan.

‘Bebas’. Kata itu menjadi sangat berharga untukku akhir-akhir ini.

Sejak kecil, aku akui aku merupakan anak yang cemerlang. Aku bisa mengerjakan berbagai soal dari sebagian besar mata pelajaran — baik untuk ilmu sosial, seni, maupun sains — dan menjadi rangking lima teratas sejak sekolah dasar. Hal itu berlaku hingga aku di sekolah menengah atas saat ini.

Namun, aku tidak bisa memungkiri, bermain dengan warna, membuat berbagai vektor, mewujudkan berbagai imajinasi dari dalam kepala dan menuangkannya ke dalam gambar digital — membuatku merasa semakin… hidup.

Kejenuhannya bersekolah di bidang sains dan sejenisnya, ditambah dengan kegagalan untuk mengikuti divisi Desain dan Relasi Publik di acara pensi sekolah, membuat semangatku mendesain sedikit memudar sekarang ini. Astaga, aku menginginkan kebebasan itu. Aku sudah cukup pusing dan mumet dengan segala hal berbau sains di sekelilingnya, dan aku sungguh mendambakan kebebasan berekspresi melalui kemampuanku.

Di saat aku menginginkan kebebasan itu, alam tidak berpihak padaku.

Zara yang minim skill desain menyalipku, terpilih menjadi ketua divisi, dan justru menjadikanku ‘desainer bayaran’ diam-diam.

Aku menghela napas, entah yang ke berapa kali malam ini. Beban di dadaku terasa membuncah saat ini. Sesak. Aku terus mencari cara agar hasil desain revisi kali ini tetap terlihat bagus meskipun pikiranku diselimuti kabut. Ayolah, Na, kerikil seperti ini nggak akan sanggup menggulingmu, sayup-sayup batinku terdengar.

Satu sekolah menyukai hasil desainku untuk pensi ini bukan? Meskipun seluruh orang tidak tahu kalau itu hasil karyaku.

Aku menyesap teh yang sudah dingin. Pukul setengah dua belas malam, dan desain revisiku sudah selesai. Setidaknya untukku. Airmataku telah kering, termasuk beban di dadaku sedikit lebih ringan ketika aku melihat hasil karyaku kali ini. Aku segera mengirimkan hasilnya ke Zara, dan dua menit jeda, perempuan itu membalas, “Nice! This is the one. Thank you banget, Na.😊”

Ya, this is the one. Aku masih menatap hasil desain terbaruku, pandangan kosong.

But, I’m not the one.

Apakah ini kebebasan yang aku mau?

Esoknya, emosiku sudah lebih stabil dan teratasi dengan baik. Pensi hari kedua sejauh ini berjalan dengan lancar. Booth untuk karya ilmiah sains telah berjejer rapi, menampilkan berbagai hasil karya yang berhasil dikerjakan oleh murid sekolahnya. Beberapa pengunjung terlihat menghampiri booth sains, tertarik dengan berbagai karya yang dihasilkan.

Salah satu lagu bernada lembut dan damai terdengar melengkapi suasana pagi itu yang terlihat cerah, tapi juga sejuk karena angin yang bertiup cukup terasa dingin. Cuaca yang sangat pas untuk menemani slow Sunday morning, lengkap dengan secangkir teh hangat.

“Gu-gue nggak pegang file-nya!” suasana damai dan sejuk pagi itu mendadak pecah oleh pekikan Zara.

Aku dan peserta karya ilmiah sains lainnya paham betul kalau pekikan Zara cukup keras, mengingat lokasi booth sains berada di lapangan tengah sedangkan perempuan itu ada di koridor kelas — harus melewati dua lokasi untuk mencapai tempat itu.

Setelahnya, terdapat jeda. Aktivitas pensi di sekolah pun kembali berjalan seperti semula, ketika aku tiba-tiba melihat dari kejauhan kalau Zara menghampiriku dengan langkah urgensi.

“Na, gue butuh bantuan lo.” bisik perempuan itu, menarikku agak jauh dari peserta booth lainnya.

Alisku naik seluruhnya. Firasatku mengatakan ada yang tidak baik dari sikap Zara. “Apa?”

Zara menghela napas, nyaris mendesis. “Desain yang semalam lo kasih dan harusnya naik cetak pagi ini, mendadak file-nya hilang.”

Jeda sejenak, lalu, “Ha?” responsku, tidak berhasil menemukan kata yang tepat.

“Gue minta file-nya lagi, Na. Bisa? Lo bawa laptop, kan?” Zara menuntut. Mengabaikan responsku barusan. Aku tahu, bagi Zara, reputasinya sebagai primadona sekolah serta ketua divisi Desain dan Relasi Publik harus terselamatkan dari kejadian semacam ini.

Aku berdeham. Such a first world problem, batinku mendesah. “Gue nggak bawa.” jawabku jujur, sukses membuat bahu Zara merosot. “Hari ini tim gue memang perlu bawa laptop untuk kebutuhan karya ilmiah sains, tapi bukan bagian gue.”

Zara menghela napas. “Hasil desain anak-anak beda sama hasil lo, Na.” ujarnya kemudian, bersuara pelan. “Lagipula, desain kali ini masih nyambung sama desain banner itu.”

Aku mengangguk paham meskipun tidak sepenuhnya. Nama divisi boleh “Desain dan Relasi Publik”, tapi kemampuan desain staf — bahkan, ketua divisinya — masih mengandalkan orang lain, yaitu aku.

“Gue bisa bantu, Ra. Kasih gue tiga puluh menit dan itu bisa naik cetak.” kataku setelahnya.

Aku bisa melihat kedua mata Zara berbinar mendengarnya. Kedua bahunya kembali naik. “Serius, Na?”

Aku mengangguk meyakinkan.

Jangan lupa. Aku Sinna, desainer di belakang layar, dan si jago berpura-pura dari depan.

Bukan begitu?

Kata orang, salah satu hal yang memuaskan dalam hidup adalah ketika hasil karyamu dinikmati dan disukai oleh orang lain. Hal tersebut artinya kerja kerasmu terbayar lunas. Membuat orang lain menyukai, bahkan memahami hasil karya yang dibuat susah payah — lengkap dengan ‘rasa’ dan memakan waktu, itu adalah sebuah hal yang spesial.

Kamu tahu? Aku sedang merasakan itu sekarang.

Rasa puas.

Tapi, tidak 100%.

Aku tahu aku tidak boleh tidak merasa puas pada seluruh kejadian hari ini. Booth karya ilmiah sains timku menjadi juara ke dua favorit dari banyak orang yang mampir ke booth kami. Hasil desain dadakan tadi dari Zara pun berhasil dibuat kurang dari tiga puluh menit dan tampil apik mengundang perhatian khalayak ramai.

Aku tahu orang-orang beramai-ramai memfoto hasil desainku itu dan upload di sosial media, lalu me-mention nama Zara. Aku tahu, aku selalu tahu. Namun, aku tidak pernah protes. Cukup tahu, dan biarkan dunia berjalan dengan semestinya.

Otakku sudah cukup pusing dan tidak butuh asupan drama.

Sore hari pukul tiga, sekolah masih ramai. Pentas seni selama dua hari telah selesai dilaksanakan dan berjalan lancar. Konser penutupan dari salah satu band naik daun di Tanah Air berhasil menutup dan menyemarakkan suasana. Menanamkan memori sekolah menengah pada seluruh murid.

“Omong-omong, hasil desain tadi pagi yang dibawa Zara mirip ya Na, sama desain X-banner lo buat booth sains kita?” kata Rina pelan, salah satu anggota tim karya ilmiah sains kami, saat sedang bersama-sama menyantap bakso. “Gue tahu gue nggak boleh prasangka buruk, tapi… lumayan mirip.”

Aku mengangkat bahu. “Selera desain kita sama mungkin.”

Tentu, tentu saja sama.

Rina asik menyantap salah satu potongan bakso dan menyesap kuahnya yang berwarna merah. “Maklumlah ya, namanya juga ketua divisi Desain dan Relasi Publik.” gumamnya, “Keren juga lo, Na, hasil desain lo bisa mendekati bagusnya dengan desain Zara. Bangga deh gue.”

Aku hanya nyengir garing.

Di kejauhan, seluruh panitia dan mayoritas murid sekolahku sudah berkumpul di lapangan tengah. Lokasi lapangan tengah memang bersebelahan persis dengan kantin, jadi memang merupakan tempat yang strategis untuk membuat acara-acara sekolah.

“Kita tiba di penghujung acara untuk panitia, dan saatnya kita mengumumkan panitia terbaik pensi tahun ini!” suara pembawa acara terdengar ke seantero sekolah, disambut sorak-sorai penonton yang berkumpul di sekitar panggung maupun di kantin. “Sudah siap kaaan, untuk tahu siapa sih, the best panitia di pensi ini?”

Tidak peduli, aku kembali menyantap baksoku, dan lanjut berbincang dengan Rina. Sementara itu, otakku teringat dengan pekerjaan freelance sebagai desainer untuk beberapa majalah anak muda. Aku masih memiliki hutang dua pekerjaan, dan berjanji akan kuserahkan hasilnya nanti malam.

Ya ampun, perjalanan masih panjang ternyata.

“Panitia terbaik pensi tahun ini jatuh kepadaaa,” suara si pembawa acara dari atas panggung kembali terdengar. Semua orang diam, menunggu. Ada jeda sejenak.

“Zaaara.” lanjut pembawa acara.

Aku termangu. Seisi sekolah boleh bersorak-sorai, memuji Zara yang malu-malu naik ke atas panggung menerima penghargaan — spesial dengan trofi. Namun, aku menghentikan kunyahanku, mencoba menetralisir rasa nyeri yang datang tepat ke hati.

Rasa nyeriku belum usai, dan suara pembawa acara sudah kembali terdengar, “Selamat ya, Zara, sudah mendapatkan gelar ‘Best Designer’ untuk acara pensi tahun ini.” Semua orang bersorak, dan si pembawa acara terdengar lagi, mengompori nyeri di hatiku, “Zara ini keren lho, guys. Dia berhasil desain dan mengkoordinir pembuatan poster-poster, banner, dan banyak lagi untuk event pensi ini. Bahkan, tadi pagi, denger-denger ada desain dadakan ya? Boleh dong, sharing sedikit nih, mumpung acaranya sudah selesai.”

Ya Tuhan, apakah kebebasan untukku harus datang sebegini sakitnya?

Kalau urat maluku sudah putus, aku bisa saja mengambil alih mikrofon dan berkata, “sebagian besar desain di acara ini adalah hasil karyaku dan desain dadakan tadi pagi berhasil diselesaikan kurang dari tiga puluh menit.”

Namun, aku adalah Sinna.

Aku yakin, kalian tidak lupa siapa aku bukan?

Dan yang terjadi selanjutnya adalah Zara menjawab dengan sedikit terbata, mencari kalimat yang tepat tanpa menyinggung berbagai pihak — ya, aku membicarakan diriku sendiri.

“Terima kasih atas berbagai pihak yang terlibat. Desain dan seluruh hasil karya untuk pensi tahun ini nggak akan terjadi tanpa bantuan dan partisipasi kalian.” ujar Zara, sekilas menatapku.

Aku tadi sudah bilang kalau aku tidak puas 100% untuk hari ini bukan?

Sekarang, aku menginginkan lebih dari ucapan terima kasih Zara di panggung.

Ya ampun, aku benar-benar menyedihkan.

Sepulang sekolah, aku melangkah memasuki rumah. Terlihat sepi seperti biasa. Aroma masakan Mama sudah tercium hingga ke teras. Bili — kucing rumahku — datang menghampiri, memberi ‘meong’ selama datang. Aku berjongkok menyambutnya, bermaksud mengelus bulu lembutnya. Berusaha menghilangkan rasa sesak di dada yang terus datang akhir-akhir ini — dan terasa semakin berat sejak selesainya acara pensi tadi.

“Sudah pulang, Na? Mandi dulu sana. Mama masak karedok kesukaan kamu nih.” sambut Mama tersenyum, wajahnya terlihat lelah namun bersinar hangat.

Aku balas tersenyum, bangkit berdiri untuk mengangguk dan lekas ke kamar.

Lalu, tepat di atas meja belajar, di samping laptop-ku, berdiri sebuah trofi. Trofi yang — aku menelan ludah susah payah — terlihat mirip dengan milik Zara di panggung tadi.

Oh, oke, sekarang aku merinding. Tulisan ‘Best Designer’ bahkan terlihat sama persis dengan yang aku tahu.

“Ah, tadi temanmu yang namanya Zara kalau nggak salah, datang ke sini, Na.” Tiba-tiba Mama muncul di pintu kamar, nyaris membuatku terjungkal karena rasa terkejut yang belum selesai. “Awalnya Mama bingung, pakai seragam sekolah yang sama kayak kamu, kok pulangnya nggak bareng, tapi kasih piala. Ada apa sih emangnya, Na?”

Berusaha mencerna, aku mengangkat trofi tersebut. Apa yang Zara lakukan? Bagaimana tanggapan seluruh staf ketika tahu kalau trofi ini tidak diabadikan bersama-sama mereka?

“Gue minta maaf, Na. Gue nggak merasa berhak terima piala ini, sedangkan lo yang terus-terusan gue mintain tolong. Baik untuk desain yang sudah terencana maupun yang dadakan. You have such a talent, Na. Jangan pernah takut lagi untuk tampil dan membiarkan seluruh dunia tahu bakat lo ini. Biarkan mereka tahu. Special gift, the ‘Best Designertrophy finally goes to you.”

Aku membaca cepat ucapan Zara yang tertulis di dalam amplop yang sebelumnya terlipat rapi di sisi laptop.

Apakah ini saatnya?

Jika ada seekor burung yang akhirnya bisa terbang bebas keluar dari dalam sangkar, aku rasa itu adalah perumpamaan yang tepat.

Aku tersenyum tanpa sadar. Aku tadi sudah bilang pada kalian kan, kalau malam ini terdapat dua pekerjaan yang menungguku?

Mulai saat ini, pekerjaan itu bertambah menjadi tiga — tidak, sepertinya, lebih.

Aku akan menyiapkan berbagai macam imajinasiku menjadi nyata, siap membawanya terbang denganku, melihat dunia.

Mulai sekarang, maukah kalian terbang bersamaku?

Berkarya, mengukir nama kalian pada orang-orang di luar sana, meninggalkan jejak yang akan tetap bisa dinikmati meskipun kalian berada di hari terakhir di bumi.

Aku tahu, ini baru awal, tapi rasanya aku tidak sabar sekali.

Baiklah, kita berkenalan lagi, ya? Aku harap kalian tidak keberatan.

Perkenalkan, namaku Sinna.

Aku adalah seorang Desainer.

--

--

Salsa Andhini
Salsa Andhini

Written by Salsa Andhini

living in a world made of food, coffee, books, & cats in a garden full of flowers🌻

No responses yet