Kai dan Bunga Matahari

Salsa Andhini
9 min readDec 27, 2020

--

ilustrasi gambar diambil dari: https://www.howeyeseeitphotography.com/shop/sunflower-print-2

KALIAN suka bunga? Aku suka bunga. Aku suka saat melihat bunga-bunga bermekaran, suka saat menghirup aromanya yang harum, suka saat melihat warna-warni bunga yang bertebaran, dan suka saat seseorang tersenyum lebar begitu menerima bunga dari orang yang mereka sayangi. Ah, suka sekali.

Omong-omong, bunga apa yang kalian sukai? Aku menyukai semua bunga, sebenarnya. Namun, aku paling menyukai bunga matahari. Aku suka saat bunga matahari bermekaran sepenuhnya, seakan siap menjalani hari. Seakan siap dengan rintangan apapun yang akan dihadapi. Seakan siap menerjang apapun tanpa peduli sekelilingnya. Dan, seakan siap menebar semangat pada orang-orang yang melihat maupun menerimanya.

Bagiku, bunga matahari memiliki aura seperti itu.

Di halaman rumahku, aku memiliki kebun kecil bunga matahari. Setiap hari, setiap saat, aku selalu merawatnya. Membasmi hama yang datang, menyirami dengan tekun, memberi pupuk, juga memberi semprotan vitamin bunga.

Bagiku, merawat kebun kecil bunga matahari merupakan kesenangan tersendiri.

Juga, seperti merawat tali antara aku dan orang yang mengenalkanku pada bunga tersebut. Orang yang juga berhasil membuatku jatuh cinta pada bunga matahari, saat pertama kali menerima darinya. Bunga matahari pertama, yang sudah layu dimakan usia, namun masih setia menghuni vas bunga meja belajarku.

Ah. Aku bilang itu bunga matahari pertama? Ya, memang, tapi juga bunga matahari terakhir yang kuterima dari orang itu.

Aku akan menceritakanmu tentangnya. Tentang sahabatku.

Namanya Kai.

“Rianti! Nanti di tempat biasa ya!” aku segera menganggukkan kepala begitu mendengar suara khas Kai yang datang ke kelasku, sekadar memberi tahu informasi tersebut. Setelah itu, Kai pergi, tidak peduli apa yang terjadi selanjutnya di kelasku.

Beberapa anak di kelasku sontak menyorakkan godaan padaku. Aku hanya mengangkat bahu, berusaha tidak peduli. Padahal, mayoritas teman-teman seangkatanku tahu kalau aku dan Kai bersahabat, dan bertetangga sejak kecil. Kami satu sekolah sejak taman kanak-kanak, hingga sekolah menengah sekarang ini. Berangkat-pulang selalu bersama. Pergi kemana-mana selalu bersama.

Seiring berjalannya waktu, kami tahu kalau kami saling membutuhkan.

Sepulang sekolah, aku dan Kai saling bertemu di tempat biasa seperti yang sudah Kai janjikan. Di dekat tempat guru piket yang kini kosong, cowok itu menungguku datang.

“Kai!” aku dengan riang memeluk lengannya, kebiasaanku saat bertemu kembali dengannya setelah sekian waktu tidak bertemu. Tidak peduli kami hanya sekadar berbeda kelas. Senyumanku lebar begitu melihat sosoknya yang biasa. “Lama ya?” tanyaku.

Kai tidak menarik lengannya. Ia justru mencibir. “Habis nyisir dulu ya di kamar mandi?” ledeknya, membuatku memukul lengannya dengan cemberut. Sukses membuatnya terkekeh.

Kami terus berjalan melintasi koridor sekolah, bercampur-baur dengan murid lainnya. Suasana pulang sekolah sama saja, selalu ramai. Tidak ada yang lebih mengasyikkan dibandingkan selesainya perjuangan selama delapan jam di tempat yang sama.

Aku mengikuti Kai dari belakang menuju parkiran untuk mengambil sepeda. Kami beberapa kali menjawab sapaan orang-orang yang mengenal kami sampai tiba di sepeda Kai. Cowok itu baru saja menaiki sepedanya ketika tahu-tahu aku mendengar suara perempuan, “Kai, bukumu?” katanya, membuatku menoleh menatapnya.

Cantik. Hanya itu yang bisa aku deskripsikan. Setahuku, perempuan itu teman sekelas Kai. Salah satu primadona sekolah, kalau tidak salah.

Lalu, aku beralih pada Kai. Jantungku seakan mencelus saat menangkap tingkah anehnya yang tidak biasa. Ia terlihat… gugup.

“Eh, iya. Ketinggalan ya, Ras?” tanyanya, kikuk. Tidak seperti Kai yang biasanya. Perasaanku tidak enak. Perempuan yang dipanggil ‘Ras’ itu mengangguk sambil tersenyum sambil menyodorkan sebuah buku. Lalu, suara Kai kembali terdengar seiring dengan ia menerima buku tersebut, “Makasih, ya.”

Dan mereka saling tatap dengan malu-malu, membuatku merasa seperti nyamuk. Dan seakan tersadar, perempuan ‘Ras’ itu pamit pulang duluan dengan teman-temannya. Meninggalkanku dengan Kai yang mematung.

Aku menangkap senyum Kai yang masih muncul. “Kamu sengaja ya, ninggalin buku di kelas?” tembakku, tanpa bisa meninggalkan nada sinis yang kentara.

Namun, Kai tidak menggubris nada sinisku. Ia justru nyengir lebar dan segera memasukkan bukunya ke dalam tas, lalu mengajakku menaiki sepedanya. “Yuk.”

Ah. Apa yang aku takutkan terjadi.

Kai jatuh cinta.

Tapi bukan padaku.

Aku bahkan masih ingat memori saat aku dan Kai pertama kali bertemu, juga berkenalan. Itu semua seakan baru terjadi kemarin, padahal sudah sebelas tahun berjalan.

Aku dan Kai pertama kali kenal saat kami sama-sama datang ke pesta ulang tahun tetangga kecil kami yang ke-5. Ketika itu, alih-alih ikut menyanyikan ‘Selamat Ulang Tahun’ pada tetangga kecil kami, kami malah memisahkan diri asik berburu capung di tempat lain.

Nama kamu siapa?” tanyanya ketika itu. Padahal, kami sudah sejak tadi memisahkan diri untuk berlomba berburu capung. Tangannya yang kecil itu terulur padaku. Matanya berbinar hangat. “Nama aku Kai.”

Aku, yang masih ompong pun tersenyum lebar padanya. Aku menyambut uluran tangannya. “Aku Rianti.” jawabku, lalu menanyakan hal yang terdengar seperti persetujuan, “Mulai sekarang, kita berteman?”

Ya.” jawaban Kai lugas. Sama lugasnya dengan sikapnya hingga saat ini yang mempertahankan pertemanan kami.

Seiring berjalannya waktu, kami kerap menghabiskan banyak waktu bersama. Rumahku dan Kai hanya berbeda dua rumah. Kai sering datang ke rumahku untuk bermain lego, bermain kemah-kemahan, bahkan menurutiku bermain masak-masakan (walaupun dengan cemberut, sih). Mama bahkan sering menitip diriku pada keluarga Kai kalau rumah sedang kosong. Alhasil, aku pun juga sering main ke sana. Menemani Kai bermain bola, berburu capung juga kecebong, dan menjelajah tempat-tempat baru di sekitar kami yang belum kami ketahui.

Seiring berjalannya usia, kami pun tumbuh besar. Jika mengajakku pergi — entah untuk sekadar bermain, atau benar-benar pergi, Kai bisa menjemputku menaiki sepeda. Ketika itu, ia belum dibolehkan mengendarai motor karena belum memiliki SIM. Tapi, bagiku, itu bukan masalah. Asal bersama Kai, aku bahagia. Ia adalah sahabatku satu-satunya hingga kini. Ia adalah orang kepercayaanku, di saat semua orang semakin banyak yang bermuka dua dan sulit dipercaya.

Dan saat ini, usia kami sudah menginjak enam belas tahun. Kami saling memerhatikan perubahan masing-masing. Mulai dari Kai yang sering mengomentari kalau aku kerap bereksperimen menggunakan make up Mama, rambutku yang memanjang, saat aku mengenakan aksesori yang kecewekan, juga aku yang mengoleksi baju-baju feminin.

Lalu, aku yang memerhatikan perubahan fisik pada Kai.

Kai semakin tumbuh tinggi melebihi diriku. Itu membuatku sedikit kesal, karena dulu tinggi kami sama dan aku sempat beberapa senti lebih tinggi darinya. Lalu, perubahan-perubahan lainnya bermunculan. Jakun yang perlahan muncul, kumis tipis yang tumbuh, rambut yang semakin memanjang, suaranya yang semakin berat, juga kelakuan-kelakuan barunya yang mencerminkan seorang laki-laki, yang membuatku menyadari bahwa kami sudah besar. Kami tidak bisa seperti dulu yang senantiasa berbagi tanpa jarak.

Aku juga tahu kalau Kai memiliki banyak fans di sekolah maupun di sekitar rumah kami. Banyak perempuan yang menanyai hubunganku dengan Kai, banyak juga yang terang-terangan memintaku sebagai mak comblang dengan Kai. Namun, permintaan mak comblang itu aku tolak.

Aku hanya tidak ingin kehilangan Kai. Sudah cukup aku menerima kenyataan bahwa kami sudah besar dan tidak bisa senantiasa berbagi seperti saat kecil, aku juga tidak mau ‘menyerahkan’ Kai pada perempuan yang baru ia kenal.

Hei, aku sudah mengenalnya selama sebelas tahun. Siapa yang lebih mengenalnya?

Tapi, masing-masing dari kami tidak tahu, kalau seiring berjalannya waktu, perasaan pun berubah.

Lambat laun, aku mulai menyukai Kai. Aku menyukai segala hal tentangnya. Caranya berpakaian, caranya memanggil namaku, caranya meledekku, caranya menjemputku di depan rumah, caranya mengajariku pelajaran matematika, dan berbagai caranya yang selalu aku sukai.

Dan, aku tidak suka dengan perempuan ‘Ras’ yang menjadi perempuan kesukaan Kai. Aku tidak mau.

Aku tidak mau berbagi Kai.

Sore itu, aku dan Kai kembali bertemu di teras rumahku. Rumahku sedang kosong, Papa dan Mama sedang ikut reuni SMA mereka sepulang kantor. Membuatku dan Kai menjadikan rumahku sebagai tempat pertemuan kami entah yang ke berapa.

“Kai,” panggilku, membuat cowok itu menoleh sekilas, dan kembali berfokus pada permainan scrabble yang dilakukannya.

“Kenapa, Ri?” tanyanya. Ah, ini juga yang aku sukai dari Kai. Sesibuk apapun dengan kegiatannya, ia selalu menanggapiku. Hal kecil memang, tapi sangat berarti untukku.

Aku menarik dan menghembuskan napas pelan-pelan. Berusaha menyiapkan pertanyaan yang sudah berputar di kepalaku sejak tadi. “Cewek tadi… siapa?” tanyaku akhirnya.

Kini, perhatian Kai sepenuhnya terfokus padaku. Ia mendongakkan kepalanya, lalu menyeringai jail. “Penasaran, yaaa?” katanya, membuatku manyun. Ia tertawa, lalu menjawab, “Namanya Laras. Teman sekelasku. Emangnya kamu nggak pernah lihat?”

“Pernah, tapi aku nggak kenal.” kataku, lalu menyipitkan mata, bermaksud memberi kesan menyelidik. Jantungku berdebar-debar saat aku melontarkan pertanyaan berikutnya, “Kamu suka ya, sama dia?”

Kai kini tersenyum. Senyum yang berbeda. Ada jeda sejenak sebelum ia bersuara, “Menurut kamu, Laras gimana, Ri?” ia malah balik bertanya.

Hah. Ini adalah hal terakhir yang aku inginkan dalam hidup. Memberi pendapat mengenai seseorang yang disukai oleh orang yang kamu sukai. Itu menyebalkan. “Nggak gimana-gimana, aku kan nggak kenal.” jawabku, sok sibuk menekuni permainan scrabble dari hadapan Kai.

Aku melirik Kai yang kini meluruskan kedua kakinya, pandangan matanya menatap langit sore yang berwarna jingga. “Laras cantik, baik,” katanya, menjawab sendiri pertanyaan yang ia lontarkan padaku. “Pintar juga. Tapi, aku nggak tahu apa hanya karena ia cantik, baik, dan pintar, aku bisa suka betulan sama dia.”

Aku menghela napas lega diam-diam. Setidaknya, cewek bernama Laras itu bisa keluar dari pikiranku sekarang.

“Oh iya!” punggung Kai menegak. Ekspresinya yang terkejut menoleh padaku yang mengernyit tidak paham. “Aku punya sesuatu buat kamu, Ri.” katanya kemudian, memperjelas maksud terkejutnya barusan.

Aku menaikkan alis. Hatiku berdesir mendengar kalimatnya. Sebelum aku menjawab, Kai sudah bangkit berdiri. “Aku ambil dulu di rumah. Kamu pasti suka, tunggu ya.”

Setelah itu, sosok Kai berlalu menuju rumahnya. Dan seperti pesannya, aku menunggu.

Sepuluh menit kemudian, Kai muncul sambil membawa tiga tangkai bunga matahari.

“Nih.” katanya, sambil menyodorkan tiga tangkai bunga matahari tersebut padaku.

Alih-alih meresapi desiran di hatiku, aku justru bingung. Hei, sebelas tahun kami bersahabat, memangnya pernah ya aku mengatakan kalau aku suka bunga? “Emang aku suka bunga ya, Kai?” tanyaku dengan alis terangkat, namun tetap menerima bunga tersebut.

Kai mengangkat bahu santai. “Kalau bunga matahari, aku yakin kamu suka.”

Dan begitu saja, seulas senyuman muncul di wajahku yang menghangat. Aku memerhatikan tiga tangkai bunga kuning cerah di tanganku. “Makasih ya, Kai,” ucapku, dan disambut anggukan santai dari Kai.

Segera, aku bangkit berdiri dan meletakkan tiga tangkai bunga matahari itu di vas bunga kosong, dan meletakkannya di sudut meja belajarku.

Saat itu juga, aku tahu. Bunga matahari adalah bunga favoritku seumur hidup.

Bunga favorit, dari orang favorit.

Sayangnya, tiga tangkai bunga matahari itu adalah bunga pertama sekaligus terakhir yang kuterima dari orang favoritku itu.

Malamnya, ketika sedang makan malam dengan kedua orang tuaku, aku mendapat kabar kalau Kai mengalami kecelakaan saat sedang menjemput adiknya dari tempat les. Aku ingat, yang aku lakukan saat itu ialah segera meluncur ke rumah sakit dengan kedua orang tuaku, dan langsung mendapatkan kabar buruk itu begitu tiba di rumah sakit.

Kai tidak pernah sadarkan diri. Ia kehilangan banyak darah.

Aku ingat, aku menangis lama sekali begitu mendapatkan kabar itu. Seingatku, sebulan penuh aku menghabiskan hari-hari dengan menangis, menangis, dan menangis. Aku sempat melihat wajah Kai yang tersenyum sebelum ia dikebumikan besok paginya.

Senyum terakhir yang kulihat, sebelum ia benar-benar pergi. Tidak ada lagi yang mendatangi rumahku menaiki sepeda, tidak ada lagi yang berangkat-pulang bersama ke sekolah, tidak ada lagi yang menemaniku sekadar mengobrol santai, tidak ada lagi kejailannya yang menghiasi hari-hariku, tidak ada lagi yang memanggil namaku dengan menimbulkan desiran di hati, tidak ada lagi senyum kami, tawa kami.

Tidak ada lagi Kai.

Tidak ada lagi kami.

Hari ini tepat enam bulan sejak Kai pergi. Setelah masa-masa sulit yang aku jalani begitu Kai pergi, aku akhirnya bisa menerima bahwa sahabatku itu benar-benar sudah tidak ada. Sulit rasanya menerima kenyataan yang begini pahit.

Bagaimanapun, kami selalu bersama selama sebelas tahun, dan ketika Kai direnggut begitu saja dariku, itu tentu tidak mudah. Kebiasaan-kebiasaan yang kami lakukan bersama dan kini sudah tidak bisa dilakukan, sempat membuatku nyaris gila. Aku pernah menunggu Kai datang menjemput dengan sepedanya untuk berangkat sekolah yang membuatku nyaris terlambat, aku pernah mendatangi rumah Kai dan memanggil namanya serta mengajaknya bermain — yang terjadi selanjutnya adalah aku melihat sepeda Kai yang ia gunakan di waktu meninggalnya dalam keadaan remuk, aku pernah berburu capung sendirian dan memeliharanya di toples agar aku bisa memberitahu Kai jika ia datang, dan berbagai kebiasaan lainnya yang begitu aku sadar bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan Kai, yang kulakukan hanya bisa menangis.

Berbagai hal di sekelilingku juga mengingatkanku mengenai Kai dengan mudah. Saat aku melihat anak sekolah menaiki sepeda, saat aku melihat anak-anak kecil yang asik berburu capung, saat aku melihat tetanggaku bermain berdua dengan sahabatnya, dan hal-hal lainnya.

Begitu juga saat aku melihat tiga tangkai bunga matahari di sudut meja belajarku.

Bunga matahari yang sama dengan pemberian Kai. Bunga yang kini sudah layu dan redup auranya dimakan waktu.

Seminggu setelah Kai pergi, aku memutuskan untuk membeli bibit bunga matahari, dan menanamnya di halaman rumah. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan baru bagiku. Senang rasanya bisa menanam dan merawat kebun kecil bunga matahariku, seakan aku bisa merasakan Kai untuk tetap hidup. Meskipun hanya lewat bunga.

Aku mengambil tiga tangkai bunga matahari dari kebun kecilku yang sudah bermekaran, dan tersenyum kecil.

Aku akan mengunjungi Kai. Aku akan memberinya bunga yang sudah aku rawat sendiri, mengatakan bahwa aku selalu mengingat dan merindukannya, serta berdoa agar kami bisa bertemu lagi suatu saat nanti.

Kamu mau ikut?

--

--

Salsa Andhini
Salsa Andhini

Written by Salsa Andhini

living in a world made of food, coffee, books, & cats in a garden full of flowers🌻

No responses yet