Kamu, Sepuluh, dan Seoul
“WAH, bagus banget,” desah Ihsan begitu ia menginjakkan kaki di salah satu bandara terindah di dunia, bandara Incheon, Korea Selatan. Ia mengedarkan pandangan, cepat menangkap seluruh keindahan sudut-sudut bangunan dengan kedua matanya. Lalu, tersadar bahwa ia membawa kamera, ia cepat-cepat memotret pemandangan di depannya.
Serius, baru bandaranya sudah begini? ia bergumam dalam hati, masih berdecak kagum sambil merapatkan jaketnya. Bandara Incheon terlihat mewah, sangat menyilaukan mata karena cahaya matahari di luar sana bersinar hingga ke dalam. Mayoritas dinding di bandara ini berupa kaca-kaca besar, memberi penjelasan asal datangnya sinar tersebut. Meski begitu, suhu di Incheon tetap sejuk.
Dinding bandara Incheon di sekelilingnya tinggi, berdiri jauh di atasnya. Menambah kesan megah menaungi interior dalamnya yang berdesain modern dan futuristik.
Ihsan lalu membetulkan ransel di punggungnya sambil terus berjalan ke stasiun untuk menaiki kereta, berpindah terminal menuju bagian imigrasi. Kamera digital terlihat mengalungi lehernya. Ia masih terkesima. Di dalam kereta pun ia masih melongo saking takjubnya yang belum selesai. Namun, ia harus fokus. Kalau ia tidak ingat tujuan utamanya datang jauh-jauh dari Makassar ke Incheon, bisa sia-sia usaha kedatangannya ini.
Ia cepat melangkahkan kakinya hingga tiba di bagian imigrasi. Begitu selesai, ia nyengir lebar memandangi halaman paspornya yang kini mendapatkan cap imigrasi dari Korea Selatan. Ya ampun, gue beneran sudah sampai di Korea! soraknya dalam hati.
Selesai ber-selfie, Ihsan lantas melangkah menuruni eskalator untuk mengambil koper miliknya. Setelah kopernya sudah di tangan, pemandangan di depannya berganti menjadi beberapa toko dengan menampilkan poster aktor, aktris, hingga boyband maupun girlband asal negeri ginseng tersebut.
Ihsan melirik lagi jam tangannya. Ah, kalau ia selfie sebentar berlatar aktor maupun aktris Korea dan mengirimkan ke ibunya, pasti ibunya akan antusias sekali. Meskipun, satu-satunya aktor asal Korea Selatan yang ibunya senangi hanya Bae Yong Joon.
Cepat, Ihsan segera berfoto dan mengirim WhatsApp ke ibunya di Makassar sana. Ia menghela napas, semoga ibunya bisa bertanya pada siapapun di sana untuk dimintai tolong membuka WhatsApp darinya. Maklum, ibunya sudah cukup berumur dan gagap teknologi sehingga jarang sekali menggunakan ponsel. Padahal, Ihsan sudah susah-payah membelikan supaya ibunya bisa terhibur menonton film-film Bae Yong Joon.
Selesai mengurus keperluan administrasi di bandara Incheon, Ihsan segera mengisi T-money miliknya untuk digunakan berkendara selama di Korea Selatan. Ia bergegas menuju stasiun kereta AREX di sana.
Dari Incheon, tujuan utamanya adalah Seoul.
Ihsan segera duduk manis di dalam kereta AREX yang akan membawanya menuju Seoul selama perkiraan waktu satu jam. Ia masih nyengir bahagia sejak tiba di Incheon, karena berhasil mewujudkan impiannya untuk pergi ke Korea Selatan. Ihsan lalu melirik sisi kursinya yang terdapat poster Lee Min Ho yang cukup besar.
Berdeham sambil melihat kesana-kemari, ia ber-selfie lagi berlatar poster Lee Min Ho dan kembali mengirimkan WhatsApp pada ibunya. Dahinya mengernyit sesaat begitu melihat ibunya sudah membalas pesannya, ‘Siapa itu? Amma’ nggak tahu yang lain selain Bae Yong Joon, San.’
Ia segera membalas, ‘Kenalan dulu, Ma’. Kalau ini namanya Lee Min Ho, hitung-hitung versi mudanya dari Bae Yong Joon.’
Ihsan menyeringai begitu mengirim pesan balasan pada Amma’-nya. Lalu, senyuman di wajahnya lenyap begitu melihat pasangan muda-mudi sedang saling bersandar dan tersenyum satu sama lain di salah sudut gerbong stasiun.
Hatinya seakan tercubit melihat pemandangan tersebut. Kini, layar ponselnya sudah menampilkan foto seorang perempuan yang menjadi tujuan utamanya jauh-jauh mendatangi Seoul, Korea Selatan.
“Dara, kamu masih ingat aku, kan?” bisiknya, tersenyum tipis.
Pertanyaan ‘kamu masih ingat aku, kan?’ tadi dari Ihsan memang cukup mengejutkan. Jauh-jauh datang dari Makassar ke Seoul untuk mendatangi perempuan yang belum tentu masih mengingatnya?
Jangankan ibunya, ia pun berpikir ia sudah gila.
Dara adalah cerita cintanya di sekolah menengah sepuluh tahun lalu. Mereka menjalin hubungan selama dua tahun hingga akhirnya Dara pindah sekolah karena mengikuti lokasi kerja orang tuanya yang berpindah-pindah. Bodohnya Ihsan, saat itu ia menyesali keputusan Dara yang meninggalkan dirinya. Hubungan mereka pun berakhir dengan komunikasi yang tidak baik, ikut ambil bagian dalam memori masa sekolahnya.
Namun, tiga bulan sebelum pergi di Incheon, Ihsan mendapat kabar dari teman sekolah menengahnya dengan Dara kalau perempuan itu sudah lulus kuliah master di Seoul, Korea Selatan.
Sepuluh tahun tidak bertemu, dan sekarang sudah berstatus master di Korea?
“Jodohmu itu, San. Cepat susul sana sebelum diambil yang lain!” seru Amma’-nya begitu ia bercerita mengenai Dara.
Melihat tanda-tanda Dara tidak pernah update mengenai kekasih baru ataupun lelaki lain yang sedang dekat dengannya di media sosial, hasil stalking Ihsan pun membuatnya menghembuskan napas lega. Berbekal alamat rumah Dara di Seoul yang diperoleh dari teman sekolah menengah, ia bertekad menyusul perempuan itu. Bermaksud memulai kembali semuanya dari awal, memperbaiki komunikasi terakhir mereka. Lagipula, tabungan dari hasil kerja kerasnya selama dua tahun terakhir sudah lebih dari cukup untuknya mengambil cuti panjang dan pergi ke Korea Selatan.
Namun, kini ia mulai memikirkan kenapa rasa tekadnya itu setara dengan sikap gilanya yang langsung menyusul Dara ke Seoul sepuluh tahun setelahnya. Dan lagi, ia belum sama sekali menghubungi perempuan itu, pun untuk sekadar berbasa-basi sebelum tiba di Korea Selatan.
Ihsan duduk termangu di kursi kereta. Kepalanya menoleh ke belakang, memerhatikan pemandangan yang berubah cepat silih berganti. Korea Selatan dan seisinya sejak ia tiba tadi selalu membuatnya terpukau. Ia bagai bebek yang tertinggal induknya di sini, tapi tak urung ia senang bukan main bisa menginjakkan kaki di negeri orang yang tengah maju popularitasnya.
Tapi juga, ia grogi bukan main.
Selama enam puluh menit perjalanan menuju Seoul, Ihsan setengah melamun dan memikirkan akankah pertemuannya dengan Dara berhasil — sesuai harapannya? Apakah Dara akan berubah padanya selama kurun waktu sepuluh tahun ini? Mereka terakhir bertemu sepuluh tahun lalu, dan hubungan mereka berakhir tanpa komunikasi yang baik antara keduanya.
Lagipula, sepuluh tahun itu waktu yang lama. Apapun — siapapun bisa berubah dalam kurun waktu selama itu.
“Lo gila ya, San? Kenapa lo langsung percaya sama Amma’ kalau Dara itu jodoh lo?” ia berdesis merutuki dirinya sendiri, tidak mau sepenuhnya menyalahi ibunya. Toh, keputusan pergi ke Seoul tetap ada di tangannya.
Lamunannya buyar ketika pintu kereta terbuka untuk ke sekian kali. Sekarang, Ihsan sudah tiba di stasiun Hongdae. Masih ada dua stasiun lagi sampai tiba di Seoul.
Memikirkan hal tersebut, Ihsan berdeham menahan rasa gugupnya. Dua stasiun lagi sampai bertemu dengan Dara. Ya Tuhan, akan seperti apa pertemuan mereka nanti? Mengharu birukah? Menyenangkankah?
Ihsan melirik ke salah satu sudut kursi kereta tempat pasangan muda tadi berada. Kini, mereka telah tertidur dengan bersandar satu sama lain. Merasa sirik, Ihsan mencibir. Lihat saja, sebentar lagi, ia pun tidak akan sendirian di sini.
Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan cinta pertamanya.
Stasiun Seoul ternyata lebih besar dari bayangan Ihsan. Ini baru stasiun, tapi sudah membuat Ihsan takjub jilid ke sekian. Ia tidak heran kalau Dara bisa betah di kota ini, semuanya terlihat indah dan megah.
Bergabung dengan masyarakat Seoul lainnya, Ihsan akhirnya tiba di pusat kota Seoul. Gedung-gedung menjulang terlihat, tapi tidak menghilangkan kesan hangat yang ditawarkan di ibukota ini. Terlihat di sekelilingnya orang-orang berjalan cepat melakukan aktivitas masing-masing, tak ubahnya kota metropolitan Jakarta — ibukota Indonesia yang pernah ia singgahi dalam perjalanan dinasnya setahun lalu.
Merapatkan jaketnya, Ihsan segera melihat alamat Dara untuk menuju ke sana. Sedikit lagi, batinnya menguatkan.
Namun, alih-alih bergegas menuju alamat rumah Dara, Ihsan memutuskan untuk mampir berbelanja sebentar ke Myeongdong, Seoul. Pusat perbelanjaan terkenal di Korea Selatan itu mencuri perhatiannya ketika mencari tempat-tempat menarik di Seoul untuk dikunjungi sebelum ini. Ia bermaksud membeli bingkisan dulu sebelum bertemu dengan Dara. Bagaimanapun, mereka sudah lama tidak bertemu, bukan?
Kesan pertama adalah segalanya.
Yah, meskipun kesan pertama setelah sepuluh tahun.
Tiba di Myeongdong, Ihsan kembali antusias. Kedua matanya membelalak karena ramainya tempat tersebut. Rasa gugup untuk kembali bertemu dengan Dara nanti menguap untuk sesaat, berganti dengan rasa pusing karena harus menjaga barang bawaannya di tempat ramai ini. Tidak bisa berlama-lama, segera, ia menghampiri beberapa toko yang ada, tidak lupa untuk membeli jajanan Korea Selatan yang sedang hype karena sering muncul di drama-drama.
“Ma’, lihat, Ihsan lagi makan tteok-bokki! Asli Seoul!” Ihsan berseru kegirangan ketika melakukan video call dengan Amma’-nya di Makassar sana. Lengkap sambil melahap tteok-bokki.
Di layar ponsel, ibunya terkekeh. Ikut senang putranya bisa bepergian ke salah satu negara yang sedang populer di luar sana. “Bisa makan tteok-bokki di sana kamu sudah bangga ya, Na’. Jangan lupa temui Dara, baru bisa bangga pamer ke Amma’.” kalimat ibunya yang ini sukses membuat Ihsan memperkecil senyuman lebarnya.
Usai bertukar kabar dengan ibunya, Ihsan melanjutkan perjalanan untuk membeli bingkisan untuk Dara. Pilihannya jatuh kepada boneka sapi berukuran sedang yang mengenakan mahkota berwarna fuchsia — karena otaknya mengingat ketika mereka menjalin asmara dulu, hewan favorit Dara adalah sapi.
Ia juga tidak bisa memberi bingkisan ke perempuan itu benda-benda khas Seoul, mengingat perempuan itu sudah lama tinggal di sini. Ihsan lantas mantap melangkahkan kakinya, mulai beranjak dari Myeongdong ke lokasi tempat tinggal Dara.
Sepanjang jalan, ia tidak berhenti memotret pemandangan di sekitarnya. Untuknya yang baru pertama kali, Seoul terlihat indah. Meskipun semilir angin yang bertiup terasa sejuk, namun bunga-bunga sakura di tepi jalan sudah terlihat bermekaran dengan cantik. Banyak orang yang berfoto di bawah pohon bunga tersebut. Ihsan bersyukur ia datang di musim yang tepat.
Sambil terus beranjak mendekati alamat tempat tinggal Dara, Ihsan terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mencoba merekam segala hal di otaknya, agar tersimpan rapi di dalam memori.
Lima menit melangkah, Ihsan berhenti di depan sebuah kafe kecil. Kafe tersebut menarik perhatiannya karena selain dekorasinya minimalis, tapi juga menggunakan warna-warna bold seperti merah, kuning mustard, fuchsia, hingga biru cerah di beberapa atributnya.
Ihsan berhenti di depan papan menu sebelum pintu masuk. Bermaksud membeli kopi untuk menemani perjalanannya hingga ke rumah Dara. Hitung-hitung, sekaligus untuk meredakan debar jantungnya yang semakin terasa tidak siap untuk bertemu. Menciutkan nyalinya saja.
“Hello, welcome to our cafe! What would you like to have?” sapa salah seorang pelayan ramah yang menghampirinya, berbahasa Inggris fasih. “Maybe you can come inside first to taste our signature dish.”
Ihsan baru tahu kalau ada yang betul-betul fasih berbahasa Inggris di sini, tidak untuk sekadar basa-basi. Ia menoleh pada pelayan tersebut, “Actually, I’d like to have a coffee — ” ucapannya terputus. Jantungnya seakan merosot ke tanah. “D-Dara?”
Pelayan itu sama terkejutnya. “Ihsan?”
Pukul tujuh malam, dan Dara telah berganti sif dengan rekan kerjanya. Ia dan Ihsan memutuskan mengobrol bersama di restoran tidak jauh dari kafe tempatnya bekerja tadi, sekaligus untuk menyantap makan malam.
Ihsan mengamati Dara yang duduk di hadapannya. Lama sekali ia tidak duduk berhadapan dengan perempuan ini. Sepuluh tahun, San, sepuluh tahun, ujar Ihsan dalam hati. Rambut hitam Dara yang lekat dengan perempuan itu kini berganti warna menjadi kemerahan, sesuai dengan tren warna rambut Korea Selatan yang kekinian.
Style Dara juga — sangat ‘Korea’. Ihsan tidak tahu cara mendeskripsikan, tapi ia tahu apa yang ia lihat. Visual nyata di hadapannya sekarang tidak bisa bohong.
“Lama di Korea, kamu makin cocok tinggal di sini, Dar,” kata Ihsan begitu pesanan mereka datang. “Kalau aku nggak kenal, mungkin aku kira kamu asli orang Korea.” Ia terkekeh, berusaha mencairkan suasana. Sesaat, melihat penampilan Dara, ia merasa perempuan ini jauh dari jangkauannya.
Dara balas tertawa kecil. “Makasih lho pujiannya. Omong-omong, Amma’ kamu apa kabar, San?” tanyanya sambil mulai menyantap jjajangmyeon pesanannya. “Kok kamu nggak kabarin sih, kalau mau datang ke Seoul? Kan, kita bisa ketemu di situasi yang lebih ‘pantas’.”
Ihsan terkekeh mendengarnya. Sambil mengaduk bibimbap miliknya, ia menjawab, “Maksud kamu, pertemuan nggak sengaja kita tadi itu ‘nggak pantas’? Ketemu pas kamu kerja, itu ‘nggak pantas’?”
Dara menyeka mulutnya yang belepotan bumbu jjajangmyeon dengan tisu, “Yaa, seenggaknya aku bisa dandan rapi sebelumnya.” ujarnya, “Oh iya, kamu sendirian ke sini, San? Sampai kapan?”
Menjawab, Ihsan menganggukkan kepala. Ia berdeham, bersiap mengutarakan maksud tujuannya datang jauh-jauh ke Seoul. “Rencana empat hari di sini, sambil mau keliling ke kota-kota lain di Korea begitu urusan utamaku di Seoul selesai.” jawabnya tersirat.
“Apa tuh, urusan utamamu di sini?” tanya Dara tidak paham.
“Sebetulnya, aku — ”
“Hai, kamu Dara, kan?” sapa seorang perempuan tiba-tiba dalam bahasa Korea, menghampiri meja mereka. Perempuan itu tersenyum lebar pada Dara, “Betul Dara, ya? Dara Yoon-ssi?”
Walaupun Ihsan tidak fasih bahasa Korea, tapi ia tahu betul kalau perempuan itu menyebut nama lengkap Dara. ‘Dara Yoon’ katanya?
“Aku teman bisnis Yong-Jae, namaku Park Soo-Min. Salam kenal, ya.” ucap perempuan itu yang bernama Soo-Min, menyalami Dara yang balas tersenyum. “Yong-Jae sering cerita tentang kalian, dan aku pernah lihat kalian berdua waktu minum-minum bersama tiga bulan lalu. Apa kabar dia? Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya di bisnis kami. Sakitkah?”
Dara nyaris berjengit mendengar nada ingin tahu dari Soo-Min yang berkedok berkenalan dengannya. “Yong-Jae baik-baik saja. Nanti kalian juga akan tahu sendiri kabarnya.” jawabnya diplomatis.
Seo-Yun mengangguk, lalu akhirnya berpamitan karena harus segera pergi. Ihsan yang tidak tahu apa-apa, melirik Dara takut-takut sambil menyantap makanannya. Sungguh, ia akan segera belajar bahasa Korea setelah ini.
Dari seluruh percakapan tadi, ia hanya menangkap nama ‘Dara Yoon’. Selebihnya, jangan harap.
“Ah, omong-omong, kamu belum jawab pertanyaanku tadi, San,” Dara membuka kembali percakapannya dengan Ihsan. Berusaha mencegah kesunyian menyelimuti keduanya. “Amma’-mu apa kabarnya?”
Ihsan tersenyum. “Baik, syukurlah. Masih suka Bae Yong-Joon. Winter Sonata masih sering ditonton berulang kali di rumah.”
Dara terkekeh. Bukan rahasia lagi di antara mereka kalau Amma’ Ihsan sangat menyukai Bae Yong Joon, lengkap dengan drama-drama yang dimainkan oleh aktor itu. Termasuk — tentu saja — drama terkenal Winter Sonata.
“Pasti selalu seru ya San, kalau bareng Amma’-mu. Aku jadi kangen.” Dara tersenyum, sorot matanya terlihat teduh. Ihsan tidak mau langsung kege-eran karenanya, ia segera menyembunyikan senyum malu-malunya.
Sesaat, memori saat mereka berpacaran dulu muncul di antara Ihsan dan Dara. Perempuan itu memang terbilang dekat dengan ibunya, dan sering diberi berbagai masakan enak oleh Amma’ Ihsan.
Awal yang baik, awal yang baik, rapal Ihsan dalam hati dengan nada positif.
“Keluargamu juga baik-baik, Dar? Papa sama Mamamu ada di Seoul?” Ihsan balik bertanya.
Dara menggeleng. “Papa sama Mama tinggal di Busan. Kita ketemu pas weekend.” jawabnya, kali ini sambil melahap suapan terakhir jjajangmyeon. Melihat ekspresi bertanya dari Ihsan, Dara mengonfirmasi, “Iya, aku tinggal sendirian di Seoul.”
Ihsan meletakkan sendoknya, mengernyit tidak paham. “Terus… ‘Dara Yoon’, itu siapa?”
“Ah, itu — ” ada jeda sesaat, Dara menggigit bibir. Terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu. Setelah memutuskan, ia berujar, “Itu aku, San. ‘Yoon’ adalah marga suamiku — ah, mantan suami. Kami sedang proses cerai.”
Bagai di timpuk batu, Ihsan melotot. Padahal, ia tadi sudah berpikir positif mengenai kemungkinan marga ‘Yoon’ yang digunakan Dara adalah nama orang tua di homestay perempuan itu selama di Seoul, atau berbagai kemungkinan lainnya. Tapi, ia betul-betul salah.
“Jadi — ”
“Perempuan tadi itu teman bisnis Yoon Yong-Jae. Ia sama sekali nggak tahu soal perceraian kami. Aku dan Yong-Jae sudah pisah rumah sejak dua bulan lalu. Sejak itu, aku tinggal sendiri di Seoul.” kedua mata Dara menerawang. Perempuan itu menyandarkan tubuh, memutuskan bercerita pada Ihsan. Bagaimanapun, Ihsan adalah ‘orang lama’ dalam hidupnya. “Sebelum dan selepas aku lulus kuliah master di sini, aku kerja di kantor Yong-Jae. Dia punya usaha keluarga turun-temurun dan dia yang menjadi penerusnya sekarang. Karena saat itu aku istrinya, aku bisa ikut kerja di sana sampai tiga bulan lalu.”
“Soo-Min — perempuan tadi — bilang ia lihat aku dan Yong-Jae habis pulang kantor saat minum-minum bersama tiga bulan lalu. Waktu itulah, saat terakhir aku dan Yong-Jae akur. Esoknya setelah itu, ia berubah 180 derajat menjadi temperamental. Tiap pulang ke rumah, selalu dalam keadaan mabuk berat. Itu terjadi selama dua minggu, dan akhirnya aku tahu kalau dia berselingkuh.”
Ihsan masih melongo. Bibimbap di hadapannya tinggal setengah porsi lagi dan ia sudah kehilangan selera. Berbagai informasi baru yang diterimanya secara berentetan hari ini sukses membuatnya pusing.
Mendadak, pertanyaan mengenai keputusannya pergi jauh-jauh dari Makassar ke Seoul untuk menemui Dara menyeruak di kepalanya.
“Aku masih tinggal di Seoul sampai sidang perceraian kami selesai. Begitu aku dan Yong-Jae memutuskan untuk berpisah, aku dikeluarkan dari kantornya. Sambil menyelesaikan semuanya, aku memutuskan kerja di kafe tadi.” Dara melanjutkan, ia menghela napas lagi. “Aku nggak mau merepotkan Papa dan Mama soal urusan ini. Jadi, aku betul-betul berharap urusanku dan Yong-Jae cepat selesai dan ikut Papa-Mama ke Busan. Dia sama sekali nggak membawa pengaruh baik ke kehidupanku sekarang ini.”
Begitu Dara selesai bercerita, sunyi menerpa mejanya dan Ihsan. Padahal, pengunjung restoran semakin ramai hingga malam. Lokasi restoran memang masih terhitung dekat dengan pusat belanja Myeongdong, sehingga banyak pengunjung yang datang untuk menyantap makan malam begitu selesai berbelanja.
Setelah beberapa saat, suara Ihsan terdengar, “Jadi — kamu sudah pernah menikah sebelum ini?” ia mengonfirmasi titik pusing tertinggi di otaknya.
Dara mengangguk membenarkan, memaklumi kekagetan Ihsan atas ceritanya barusan. “Aku dan Yong-Jae menikah dua tahun lalu, tepat sebelum aku kuliah master.” jawabnya.
Ihsan menghembuskan napasnya perlahan yang tertahan tanpa sengaja. “Tapi… kamu nggak pernah pasang foto kalian di media sosial, Dar?” ia mengonfirmasi lagi, berusaha mengurai benang kusut yang dihadapinya secara mendadak. “Eh, maaf, maksudku — ”
Di luar dugaan, Dara tertawa. Ia mengerling jail. “Jadi kamu stalk aku ya, San?” ledeknya, membuat wajah Ihsan merah padam karena malu. Tidak sengaja membuka kartunya sendiri. “Kalau kamu stalk aku baru tiga bulan belakangan, artinya aku sudah hapus semua foto bareng Yong-Jae. Kamu nggak akan tahu soal kami kalau kita nggak ketemu begini.”
Benar juga, batin Ihsan berujar. Ia memang baru mulai melakukan stalk media sosial Dara tiga bulan lalu, dan memutuskan untuk menemui perempuan ini ke Seoul. Sungguh sebuah petualangan yang terbilang cepat.
“Maaf ya, San, kamu pasti syok dengar ceritaku.” ucap Dara tulus. Ia tersenyum, “Sudah lama aku nggak punya teman cerita di sini. Aku senang kamu datang ke Seoul.”
Ihsan balas tersenyum kikuk. Tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang ada di kepalanya sekarang ini. Cerita mengenai Dara dan soon to be mantan suami perempuan itu sudah membuat rencananya selama di Korea berantakan.
“Eh, kok tumben kamu nggak habis makannya? Biasanya, makananmu selalu habis duluan dibanding aku.” celetuk Dara mengomentari setengah porsi bibimbap Ihsan, mengingat kebiasaan selama hubungan keduanya dulu.
Nyengir garing, Ihsan berkata, “Aku udah kekenyangan. Porsi ini lebih banyak dari dugaanku.” ucapnya beralasan.
Dara mencibir tidak percaya, lalu perhatiannya teralih pada kembang api yang menyinari langit malam Seoul dari balik jendela mejanya dengan Ihsan. “Wah, kembang api, San! Lihat!” serunya sambil menunjuk jendela kegirangan.
Melihat tingkah Dara, Ihsan tersenyum. “Kamu nggak berubah, masih suka banget kembang api.” komentarnya, ikut mengamati kembang api yang berpendar warna-warni mewarnai langit Seoul.
Dara tertegun sesaat mendengar kalimat Ihsan, sedikit tidak menyangka kalau lelaki itu ingat dengan jelas salah satu hal kesukaannya sejak dulu. Ia tidak berani berharap, tapi… apakah mungkin Ihsan masih ingat kalau ia menyukai hewan sapi sejak dulu?
Pagi di Incheon, hari keempat di Korea Selatan, Ihsan sudah bersiap di bandara untuk kembali ke Makassar. Barang bawaannya bertambah dari sejak tiba di Incheon. Untungnya tidak overload. Ihsan duduk di salah satu kursi tunggu, memutuskan membuka ponselnya.
Jarinya bergerak menuju kolom chat dengan Amma’-nya, bermaksud mengabari kepulangannya ke Makassar sebentar lagi. Selesai mengabari, Ihsan tersenyum begitu membaca kembali chat dengan ibunya saat ia mengirim fotonya dengan Dara di Seoul, dua hari lalu.
‘Salam buat Dara, Na’. Bilang ke dia, makin cantik saja, tapi akan lebih cantik kalau mampir ke Makassar sini. Amma’ rindu.’ respons Amma’ Ihsan, lengkap dengan tiga emoji hati.
Dara, yang mengetahui respons ibunya, tertawa senang ketika itu. Selanjutnya yang terjadi adalah Ihsan menghubungi Amma’-nya melalui sambungan video call, dan terjadilah acara bertukar rindu di ponselnya.
Sederhana, tapi berhasil membuat hati Ihsan menghangat. Kali terakhir ia melihat Amma’-nya bahagia adalah ketika ia berhasil membelikan tas baru setahun lalu.
Singkat cerita mengenai ia dan Dara, meskipun syok bukan main mendengar cerita perempuan itu di pertemuan pertama mereka, hubungannya dengan Dara dan liburannya di Korea terpantau baik-baik saja hingga kini.
“Hai, San, nunggu lama?” sapa Dara begitu tiba di bandara internasional Incheon. Perempuan itu terlihat terengah, mungkin sempat berlari menuju lokasi Ihsan sebelum ini. “Masih ada waktu satu setengah jam lagi. Kamu udah sarapan?”
Ihsan tersenyum melihat kedatangan Dara. Perempuan itu memang menawarkan diri untuk mengantarnya pulang ke Makassar setelah kunjungannya ke Seoul selesai. Namun, karena ternyata hari terakhir Ihsan habiskan di Gangneung, jadilah mereka berangkat terpisah menuju bandara.
“Aku udah sarapan tadi di hotel. Masih ada roti juga di tas. Aman.” jawabnya, lalu mengamati Dara, “Kayaknya, harusnya aku yang tanya. Kamu udah sarapan belum?”
Dara nyengir, mengeluarkan sekotak bekal dari tasnya. “Aku belum sarapan karena aku bikin kimbap.” ucapnya, “Makan juga yuk, San.”
Ditawari makanan bekal buatan cinta pertama di Korea? Wah, Ihsan mana bisa menolak. Meskipun ia bilang sudah sarapan di hotel, ia tetap melahap kimbap buatan Dara yang rasanya tidak mengecewakan. Lumayan menambah kenyang perutnya selama perjalanan panjang hingga tiba di Makassar.
“Enak banget, Dar. Jago masak kamu ya, pas buat duet sama Amma’.” ujarnya mengangguk-angguk.
Dara tersenyum berterima kasih. Segala hal mengenai hubungannya dengan Ihsan, dan Amma’ di antara mereka, berhasil membuat hatinya mendambakan kedekatan tersebut seperti dulu.
Apa yang terjadi kalau hubungan mereka tidak berakhir saat itu ya?
“Tadinya aku mau bikin sekalian untuk bekalmu pulang ke Makassar. Tapi, aku baru ingat kalau bahan utama kimbap campuran sayuran dan daging. Nggak akan tahan lama untuk perjalanan jauh.” jelas Dara.
Ihsan manggut-manggut membenarkan. Lalu, “Oh, omong-omong, aku punya sesuatu,” katanya tiba-tiba, membuat Dara menatapnya bertanya.
Hati Dara mencelus ketika ia mendapati sebuah boneka sapi bermahkota dengan warna fuchsia saat ia mengeluarkan benda tersebut dari kantung berwarna merah muda. “Sapi…” gumamnya, bingung mau berkomentar apa.
Ihsan terkekeh. Dari seluruh kata yang ada, respons perempuan itu hanya ‘sapi’. Tapi, tak apa. Ia paham maksudnya. “Iya, sama-sama.” ujarnya, membuat wajah Dara memerah.
“Gomawo.” ucap Dara tersenyum teduh, sorot matanya terlihat damai. “Kamu masih inget aja kalau aku suka sapi.” Ia terkekeh.
Ihsan mengangguk-angguk. “Sebetulnya, maksud aku datang ke Seoul waktu itu karena mau nemuin kamu, Dar. Aku mau memperbaiki komunikasi kita yang nggak berakhir baik sepuluh tahun lalu.” jelas Ihsan tiba-tiba, membuat Dara tertegun. “Tadinya, aku mau temuin kamu di rumahmu di Seoul. Aku dapat alamat kamu dari Yuni — teman SMA kita dulu. Tapi, ternyata kita malah ketemu di kafe tempatmu kerja.” lanjut Ihsan mengangkat bahu.
Dara masih memproses penjelasan tersebut dari Ihsan setelahnya. Ia masih sedikit tidak menyangka kalau alasan sesungguhnya lelaki itu datang ke Seoul adalah untuk menemuinya. Dara pikir pertemuannya dengan Ihsan di kafenya ketika itu adalah sebuah keajaiban.
“Kamu jauh-jauh dari Makassar buat ketemu aku, San?” tanya Dara pelan, dan Ihsan mengangguk pasti. “Kenapa kamu nggak hubungin aku dulu sebelumnya? Maksudku, aku bisa jemput kamu begitu sampai di Incheon. Dan lagi, gimana kalau ternyata aku udah pindah rumah?”
Ihsan meringis mendengarnya. “Iya, maaf. Kenyataannya… aku takut, Dar. Nyaliku belum berani untuk tiba-tiba hubungin kamu setelah sepuluh tahun. Jadi, bodohnya, aku langsung susul ke sini.”
Dara menghela napas. Salah satu sifat Ihsan yang ada sejak dulu — terlalu berani mengambil risiko, tapi tidak berani untuk menghubunginya lebih dulu.
Lalu, percakapan berlanjut sambil menghabiskan kimbap buatan Dara. Komunikasi mereka selesai begitu waktu sudah menunjukkan waktu satu jam hingga keberangkatan Ihsan.
“Makasih ya Dar, buat semuanya. Semoga kamu nggak anggap aku aneh setelah ini, ya.” ucap Ihsan dengan tawa kecil sambil siap berlalu. “Salam buat Papa-Mama kamu.”
Dara balas tertawa. “Aku yang makasih San, karena kamu udah jauh-jauh datang ke Seoul buat temuin aku.” ujarnya, “Salam juga buat Amma’-mu. Next time, biar aku yang gantian datang ke Makassar.”
Mereka berdiri berhadapan, berpamitan satu sama lain. Sepuluh tahun tidak bertemu, pertemuan mereka di sebuah kafe di Seoul membawa keajaiban dalam hidup mereka.
Ihsan menatap Dara, “Pulang yuk, Dar. Kamu bisa makan pisang epe tiap hari.” katanya, menyebut makanan khas Makassar kesukaan Dara. Salah satu hidangan wajib ketika mereka berkencan dulu.
Dara terkekeh, lantas mengangguk. “Lihat aja nanti, San. Siapa tahu aku juga datang tiba-tiba ke Makassar. Kayak kamu ke Seoul.” Ia tersenyum.
Setelahnya, Ihsan mulai beranjak memasuki bagian dalam bandara. Ia melambaikan tangan pada Dara, dan melangkah maju — siap melalui perjalanan panjang kembali ke Makassar.
Pertemuannya dengan Dara memang dilengkapi kejutan bahwa perempuan itu sedang proses bercerai dengan lelaki lain. Kenyataan bergelar master lulusan universitas di Korea pada diri Dara pun tidak menutup kemungkinan untuk terus memiliki kehidupan yang baik-baik saja setelahnya.
Tapi, Ihsan tidak memungkiri, pertemuannya dengan Dara jauh-jauh di Seoul membuatnya menginginkan kebersamaan yang lebih bersama perempuan itu.
Maka itu, saat proses check in pulang ke Makassar, Ihsan sudah tahu pasti. Kapanpun Dara memutuskan untuk mengunjunginya ke Makassar, ia akan menunggu.
Pertemuan mereka jauh di Seoul adalah sebuah keajaiban dan berkah dari kenekatannya. Dan, Ihsan yakin akan ada keajaiban selanjutnya untuk dirinya dan Dara setelah ini.
Keajaiban, juga keberanian.
Bukan begitu?