Kembali
Jakarta, 2019
Nindy mengamati rak buku di balik kaca hadapannya. Ekspresinya tidak terbaca. Kedua matanya menangkap buku dengan sampul dan judul yang amat ia kenal. Buku yang sudah rilis sejak enam tahun lalu dan masih terpajang di toko buku yang ia jumpai ini.
Dan, buku ini memiliki nama penulis yang ia kenal baik sekali.
Sejenak, Nindy menghela napas. Ia memalingkan wajah dan melanjutkan langkah kakinya menuju tempat tujuan.
Jakarta terlihat cukup sepi di hari Sabtu ini. Jalanan terlihat lengang. Di atas, langit cerah berwarna biru dengan gumpalan awan putih di langit. Matahari bersinar hangat, lengkap dengan angin sepoi-sepoi yang bertiup. Sungguh cuaca yang pas di hari Sabtu. Tujuan pergi Nindy hanya tinggal beberapa langkah lagi.
Lima menit kemudian, ia tiba di sebuah rumah cukup besar yang ia ketahui hanya dihuni oleh tiga orang lengkap dengan ART dan security. Setelah diperbolehkan masuk oleh security yang bertugas, ia disambut oleh seorang pria paruh baya — lengkap dengan rambut yang mayoritas sudah memutih — dengan seulas senyuman lebar.
“Halo Nindy, lama nggak ketemu. Nggak tersesat kan, pas ke sini?” sapa pria itu yang kini sudah memeluknya erat.
Nindy balas tersenyum. “Nggak, rumah ini masih gampang dicari.” jawabnya.
Pria itu terkekeh mengingat kotak pos tua berwarna mencolok yang masih setia bertengger di sisi gerbang rumahnya. Rupanya itu cukup membantu.
Mereka memasuki bagian dalam rumah, perabot dalam rumah itu didominasi kayu jati tua dengan ornamen khas suku Jawa. Bagian dalam rumah itu juga masih terlihat rapi dan lengang seperti terakhir kali Nindy datangi tiga tahun lalu. Ia mengedarkan pandangannya begitu memasuki ruang keluarga. Rumah kakeknya itu masih dan akan selalu dihiasi berbagai buku yang tersusun rapi di rak-rak tinggi.
Kedua matanya berbinar melihat pemandangan itu. Lama tidak bertemu, ia nyaris lupa kalau ia dan kakeknya memiliki hobi membaca yang sama. Tidak jauh dari rak-rak buku, ia menangkap foto kakek dan mendiang neneknya berdua terpajang di ruang tengah.
Nindy menghela napas. Kehilangan istri tercintanya lima tahun lalu, pasti membuat Suryo — kakeknya — merasa kesepian, meskipun ia tahu kalau anak-anak dan cucu-cucunya sering datang untuk menemani kakeknya ini. Ia juga yakin kalau Suryo sering menghabiskan waktu membaca di ruangan ini, ditemani foto bersama istrinya yang tidak jauh dari jangkauan mata.
“Gimana kabar kamu, Nin? Kamu sudah lulus kuliah kan, ya?” Suryo bertanya setelah meminta dibuatkan dua cangkir teh hangat pada ART-nya. Ia mengajak Nindy duduk di sebuah sofa yang menghadap langsung ke salah satu rak buku tinggi berlapis kaca.
Nindy tersenyum dan mengangguk. “Kabar baik kok, sudah lulus setahun lalu.” jawabnya, lalu melirik rak buku di hadapannya. “Kakek masih suka baca sampai sekarang?”
Suryo terkekeh karena pertanyaan cucunya. “Bercanda kamu, Nin. Ya iya masih dong. Kamu pikir siapa yang menurunkan sifat gemar membaca ke diri kamu kalau bukan dari kakek?” ia terkekeh sementara Nindy sudah nyengir lebar.
“Sekarang lagi suka baca apa, Kek?” tanya Nindy, berharap dapat referensi buku bacaan menarik dari kakeknya. Ia ingat, saat ia kecil dulu, ia dapat banyak buku bacaan Enid Blyton dari kakeknya.
Kali ini, tidak langsung menjawab, Suryo tersenyum dan beranjak membuka rak buku kacanya. Ia meraih salah satu buku dan menyerahkannya pada Nindy. Sikapnya itu sukses membuat Nindy terkejut karena kakeknya masih menyimpan buku itu setelah enam tahun waktu rilis. Buku yang sama yang Nindy lihat saat di depan toko buku tadi.
Buku yang sama. Penulis yang sama.
“Kamu kapan menulis lagi, Nin? Kakek rindu baca tulisanmu.” tanya Suryo lembut begitu sudah duduk kembali di sisi Nindy.
Nindy masih terdiam memegang buku dari kakeknya. Buku dengan sampul biru muda dan judul berwarna hitam, dengan nama dirinya di bagian bawah sampul.
Nindy Widjojo.
New York City, 2016
Profesor Jack Smith membaca dengan serius draft tulisan yang diserahkan Nindy pagi itu di ruang kerjanya. Sebagai seorang profesor yang menjadi dosen pembimbing Nindy selama masa perkuliahan, ia kenal betul bagaimana tulisan mahasiswinya itu mengalir.
Ia akui, sebagai seorang penulis yang sudah menerbitkan puluhan judul buku dan artikel, juga dosen di sebuah universitas terkemuka di New York, tipe tulisan Nindy adalah tipe tulisan yang tidak membuat bosan pembaca. Namun, justru berhasil mengiring pembaca untuk ikut penasaran menyelesaikan bacaan dan tertarik dengan topik yang ditulis.
Selesai membaca tulisan mahasiswinya tersebut, Jack segera mengirim email balasan mengenai hasil revisi Nindy. Tidak banyak yang harus diubah, hanya revisi minor dan ia yakin Nindy bisa menyelesaikannya begitu menerima email-nya ini.
Sementara itu, di tempat kosnya, Nindy bersorak girang begitu mendapati email balasan dari Jack. Sebuah keuntungan baginya bisa dibimbing oleh penulis sekaligus dosen favoritnya ini, mengingat banyak mahasiswa yang ingin berada di posisinya.
Saat ini, di tahun terakhir kuliah masternya dan di sela pembuatan tesis, Nindy sedang menjalankan sebuah projek menulis sebuah buku bersama profesornya — Jack Smith — dan berencana akan rilis begitu ia wisuda tiga bulan lagi.
Man, menulis bersama Jack Smith merupakan pertaruhan gengsinya. Ia berhasil masuk ke universitas terkemuka di New York, fakultas Fine Arts di jurusan Fiction Writing, dua tahun lalu dan telah bertekad sejak awal bahwa ia akan menerbitkan buku saat ia lulus.
Tidak disangka, saat ia mengutarakan niatnya ketika bimbingan dengan Jack, profesornya itu berkata, “ide yang menarik, Nindy. Saya justru jadi tertarik untuk menulis bersama kamu di buku ini. Bagaimana?”
Nah, siapa yang akan menolak?
Maka, jadilah ia di sini. Di kamar kosnya, di musim panas New York, di mana mayoritas teman-temannya menghabiskan waktu untuk bersantai sejenak, sedangkan ia asik merangkai kata untuk bukunya mendatang.
Catat. Buku kolaborasinya dengan Jack Smith.
Nindy telah menyukai dunia menulis sejak sekolah dasar. Di waktu luang, ia kerap menulis berbagai hal di sekitarnya dan menjadikannya satu narasi dengan karakter alur cerita yang kuat. Seiring berjalannya waktu, ia memiliki pasang-surut dengan kegemarannya menulis karena inspirasi dan fokusnya dapat mudah terpecah.
Namun dengan segala cara dan usaha, saat kuliah sarjananya di tahun kedua, ia berhasil menerbitkan satu buku — dan langsung laris di pasaran. Masih lekat dalam ingatan Nindy ketika ia mendengar informasi dari penerbitnya kalau di toko buku manapun, bukunya mayoritas sold out.
Kegemarannya menulis juga yang membawanya untuk melanjutkan studi master di salah satu universitas terbaik di Amerika, berlokasi di New York, jurusan Fiction Writing.
Nindy berharap, selepas ia selesai berkuliah menulis hingga ke Amerika, kemampuan menulisnya meningkat dengan baik — dan, tentu saja, bisa membagikan tulisannya lebih banyak dan sering kepada pembaca.
Namun, ternyata proses menulisnya dengan Profesor Jack Smith tidak semudah dan lancar yang dibayangkan.
Nindy sangat ingat bagaimana sedih dan runtuh semangat dirinya ketika kejadian tersebut terjadi.
Satu bulan sebelum ia wisuda, di saat tulisannya dengan Jack sudah rampung dan naik ke penerbit, kabar tidak sedap menerpa profesornya.
Kampusnya dihebohkan dengan berita bahwa profesornya — Jack Smith — terbukti menjadi tersangka pelecehan seksual yang dilaporkan oleh seorang korbannya. Dalam sekejap, penerbit pun memutus kerja sama dengannya dan Jack. Bahkan, meskipun ia tidak tahu-menahu perihal kehidupan pribadi profesornya itu, Nindy juga kena getahnya dengan banyak media digital dan penerbit lain yang tidak mau menerima tulisannya. Singkatnya, tidak ada yang mau mempercayai Nindy dan tulisannya.
Niat Nindy untuk bisa berkarir sebagai seorang penulis pasca lulus kuliah master di bidang menulis pun pupus dalam sekejap.
Hingga ia lulus dari Fiction Writing, Nindy gagal menerbitkan satupun tulisan karena kasus profesornya.
Hal itu juga yang membuatnya urung mengirimkan satupun tulisannya baik ke media di Amerika maupun di Jakarta, tanah kelahirannya, hingga sekarang.
Jakarta, 2019
Nindy menghela napas saat ia memutuskan untuk mampir ke toko buku dekat rumah kakeknya saat perjalanan pulang. Toko buku yang sama yang ia jumpai saat berangkat ke rumah Suryo.
Bukunya yang terbit saat tahun kedua kuliahnya masih bertengger di salah satu rak — meskipun sudah tidak begitu banyak tercetak ulang dan mulai kalah dengan buku-buku baru yang bermunculan.
Namun, melihat hasil karyanya enam tahun lalu itu masih ada di sana sedangkan ia sendiri merasa tidak yakin dengan ‘panggilan’ menulisnya, membuat kedua mata Nindy segera digenangi airmata.
Apa gue sudah ada di jalan yang semestinya?
Apa gue betul-betul bisa menulis?
Apakah salah kalau gue ambil master Fiction Writing hingga ke Amerika kalau akhirnya nggak bisa menulis lagi?
“Oh, akhirnya gue nemu karyanya Nindy Widjojo!”
Lamunan Nindy buyar seketika. Ia sontak menoleh ke arah suara tersebut, sempat mengira pemilik suara itu mengenali sosok dirinya.
Tapi, perkiraannya salah. Dua orang itu hanya pengunjung toko buku biasa yang sedang mencari buku bacaan baru.
“Bagus ya, bukunya? Gue sempat lihat review di internet bagus sih. Buku lama juga nih, ternyata.” ucap salah satu dari mereka.
Lalu, salah satunya lagi mengangguk dengan ekspresi kecewa, “Sayang, penulisnya belum ada buku baru lagi. Padahal buku ini laris banget ya. Gue aja takut kehabisan pas beli sekarang. Untung masih ada di toko buku ini.” katanya.
Nindy terhenyak. Ia melirik kedua pengunjung itu diam-diam. Salah satu di antara mereka sudah memegang erat buku pertamanya, salah satunya lagi masih menimbang-nimbang sambil membaca sinopsis di bagian belakang sampul buku.
“Eh, lo beli juga aja, Din. Kita bisa review bareng. Gue juga lihat review di internet bagus-bagus banget soalnya.” kata salah satu pengunjung itu.
Lalu, begitu saja, dua orang pengunjung itu membeli pulang dua buku pertama Nindy tanpa pernah tahu kalau penulis aslinya berada tidak jauh dari mereka.
Setelah dua orang itu pergi, Nindy terdiam menatap nanar bukunya.
Apa ini?
Sensasi mendengar orang lain membicarakan hal-hal baik mengenai karyanya sudah lama tidak ia rasakan. Sensasi mendengar pujian atas karyanya. Sejenak, kepala Nindy dipenuhi ingatan setelah meluncurkan buku pertamanya dulu.
Berbagai pujian, kritik dan saran, bahkan bingkisan berdatangan untuknya. Nindy ingat, ia sempat disebut sebagai ‘Penulis Pendatang Baru Terbaik’ di tahun buku pertamanya terbit.
Namun, banyak juga yang merasa kehilangan dan bertanya-tanya mengenai dirinya yang tenggelam dan tidak menghasilkan karya baru dalam waktu yang lama.
Meski begitu, ada beberapa media di Indonesia yang memberi informasi kalau ia memiliki sangkut-paut dengan kasus profesornya saat berkuliah master di Amerika. Nindy mendengus sebal mengingatnya. Ia bahkan tidak tahu apa yang Profesor Jack Smith lakukan di waktu luang. Bagaimana bisa ia terkena sangkut-paut dengan kasus menjijikan itu?
Lantas, Nindy menatap kembali buku pertamanya yang tersisa sedikit di hadapannya. Merasakan sensasi memenuhi dirinya, Nindy tersentak ketika kembali mendengar ‘panggilan’ menulisnya lagi masuk ke hatinya.
Dalam sekejap, ia berlari meninggalkan toko buku itu.
Sekarang — atau tidak sama sekali.
Enam bulan kemudian, dua orang pengunjung yang sama di toko buku tempo hari girang bukan main begitu menghampiri rak buku bagian ‘New Arrival’.
“Akhirnyaa! Gue udah nunggu-nunggu ini sejak dikasih clue di Twitter penerbitnya. Akhirnya kebagian!” ucap salah seorang dari mereka sambil memegang buku terbaru itu erat-erat seakan takut ada yang merebut.
Salah satunya lagi ikut mengambil buku terbaru itu ke tas bawaan. “Kita harus cepat. Sebentar lagi sold out.”
Selepas kedua pengunjung tersebut, banyak pengunjung lain yang berdatangan ke toko buku itu dan membeli buku terbaru di deretan rak ‘New Arrival’ dengan sampul berwarna putih dan judul berwarna hitam.
Buku dengan judul ‘Kembali’, oleh Nindy Widjojo.