Sebuah Cerita… Selanjutnya
(Cerita ini adalah cerita lanjut dari ‘Sebuah Cerita di Kala Senja’)
Anna duduk termenung di kursi kantin siang ini. Wajahnya memerah karena kepanasan teriknya matahari saat menuju kantin tadi. Hari ini, panasnya kota Depok sedang keterlaluan. Memasuki pertengahan tahun dan juga musim kemarau, sinar matahari dan cuaca yang panas sedang semangatnya menyelimuti kota ini.
Hari ini hari Rabu, dan masih di tengah-tengah minggu untuk memikirkan weekend. Sementara, Anna sudah merasa ingin segera istirahat dari tugas yang semakin sulit dan banyak — ditambah dengan sibuknya kembali untuk bersiap mengikuti event lain di kampus.
“Na, lo nggak makan?” tanya Ayesha di hadapannya ketika mereka sedang berada di kantin teknik yang selalu ramai oleh pengunjung. “Makan tuh, ayam krispi kampus lagi diskon.”
Anna reflek menegakkan tubuh. Ia menoleh pada penjual ayam krispi kantinnya yang mulai ramai oleh mahasiswa mengincar diskonan.
“Wah, daripada makin rame, gue pesen sekarang deh. Lo udah pesen kan?” Anna bergegas bangkit sambil meraih dompetnya.
Ayesha menunjuk piring di hadapannya yang sudah berisikan nasi dan ayam geprek. “Lagi kepengen ayam geprek gue.” katanya tanpa diminta.
Mengangguk, Anna melangkah dari kursinya dengan Ayesha, dan ikut mengantre untuk membeli ayam krispi primadona kampus. Membayangkan makan itu ditambah saus barbeque berhasil membuat perutnya bergemuruh.
Sembari mengantre, Anna mengedarkan pandangan.
Kantin sedang ramai sekali, karena kegiatan kampus juga sedang aktif-aktifnya. Mahasiswa dengan berbagai keperluan baik untuk makan, mengerjakan tugas dadakan, ataupun sekadar update kabar terbaru berseliweran di tempat strategis di kampus ini.
Di tengah ramainya kantin, Anna menghela napas ketika tidak mendapati sosok yang dicarinya.
Ale tidak ada di kantin. Anna juga sempat mencarinya di sekitar jurusan Teknik Sipil tadi dan nihil. Cowok itu tidak terlihat di mana-mana meskipun teman-teman sekelasnya terlihat di kampus.
Satu bulan sejak perkenalan mereka di acara Sunny Side Up, Ale tidak terlihat di manapun — baik di kampus ataupun… di kolom chat-nya.
“Dia nggak hubungin lo sama sekali, Na?” tanya Ayesha saat sedang berjalan menyusuri lorong kampus menuju kelas siang ia dan Anna.
Anna menggeleng. “Gone, gue cuma salah satu “mainannya” aja kali, ya.”
Ayesha menaikkan alis. “Setau gue, dia bukan tipe kayak gitu. Beneran. Mungkin dia ada urusan lain yang genting jadi frekuensi hubungin lo berkurang?”
Anna melirik Ayesha dan mengangguk. Ini adalah ke sekian kali ia berusaha berpikir positif mengenai “hilang”-nya Ale dan kedekatan mereka. Sayangnya, beberapa temannya sudah mendengar tentang perkenalan mereka dan selalu semangat ’45 untuk meledeki kapanpun, di manapun.
Padahal, Anna ingin berita mengenai dirinya dengan Ale hanya diketahui oleh teman-teman terdekatnya saja.
Lima menit berjalan, mereka tiba di gedung jurusan Teknik Sipil dan terus beranjak menaiki tangga menuju kelas siang mereka. Sepuluh menit lagi kelas dimulai, masih ada waktu untuk sekedar istirahat menunggu dosen datang.
“Le, baru dateng lo?” Anna reflek menghentikan langkah begitu mendengar suara di balik tembok sebelum kelasnya.
Suara Ale terdengar — tanpa terdengar merasa bersalah, ia terkekeh. “Iya nih, salah jadwal gue. Jadi tadi absen kelas, deh.”
“Parah lo, ada tugas kelompok tuh. Oh, sama bengkel juga besok udah mulai ya.”
“Aduh, oke deh, makasih, Yu.”
Anna masih anteng menyimak dengan Ayesha yang ikutan kepo.
“Omong-omong, lo masih dekat sama si Anna, Le?” pertanyaan penting dari teman sekelas Ale yang Anna tahu bernama Wahyu, berhasil membuatnya dan Ayesha menyimak lebih fokus.
Jantung Anna berdebar menunggu jawaban.
Sejenak, tidak terdengar apapun. Lalu, “Gue nggak chat dia lagi…”
Hati Anna mencelus, Ayesha sudah melongo. Dugaan positive thinking mereka tadi pupus dalam sekejap.
Wahyu terdengar terkejut. “Ha? Kenapa? Dia salah satu cewek yang banyak disukain lho, Le.”
“Dia — ” Ale menjawab, jantung Anna kembali berdebar, kali ini lebih cepat. Menunggu. “Dia terlalu baik, Yu.”
Anna dan Ayesha reflek berpandangan. Sahabatnya itu memberikan tatapan sedih, sementara mood Anna berantakan dalam sekejap.
Anna pernah beberapa kali dekat dengan cowok sebelum Ale, tapi alasan “perpisahan” yang paling tidak masuk akal menurutnya adalah tetap — ‘terlalu baik.’
Bagian mana di dirinya yang ‘terlalu baik’? Anna menghela napas pusing. Ia sudah cukup insecure dengan dirinya akhir-akhir ini, dan sangat sedang tidak butuh pasokan penurun rasa percaya diri di dalam dirinya sekali lagi.
Maksudnya, kenapa? Anna sedikit tidak menyangka apa yang ia lakukan selama ini bisa menjadi salah di mata Ale dan malah membuat cowok itu menghilang tanpa ada obrolan apapun.
Memang sih, hubungan mereka sebatas perkenalan dan obrolan-obrolan tiap malam. Tapi, tetap saja, Anna tidak bisa menyangkal rasa yang sudah muncul itu.
Perasaan yang sudah lama tidak dirasakannya, tapi malah muncul untuk orang yang salah.
Anna menghela napas lagi, hatinya dipenuhi perasaan sebal dan sedih. Ale tak ubahnya seorang cowok tidak gentleman yang hanya bisa memutus hubungan secara sepihak dengan alasan yang tidak masuk akal.
Ya ampun, weekend masih lama ya? batin Anna mengeluh lelah.
Dua minggu sejak “selesainya” kedekatan ia dan Ale, Anna sudah kembali disibukkan dengan mengurus event lain di kampus. Beda dengan Sunny Side Up lalu, event ini merupakan perlombaan nasional antar universitas di kampusnya.
Anna harap, dengan menyibukkan diri, ia bisa segera mengenyahkan bayangan Ale di benaknya. Sekarang pun, ia sedang berada di aula kampus bersama teman-teman satu event untuk mengikuti rapat oleh beberapa ketua divisi.
Tapi, kok, ia sekarang jadi lelah sendiri dengan kesibukannya? Anna menghela napas entah yang ke sekian kali hari ini.
“Na, kenapa lo?” tanya Aksa di sisinya. Aksa adalah ketua divisinya di event perlombaan ini. Lagi, Anna berada di divisi HPD — Humas, Publikasi, dan Dokumentasi.
Anna menggeleng merespons pertanyaan Aksa. “Nggak, merasa agak capek aja.”
Aksa manggut-manggut dan berujar, “Anak-anak pada mau cari dana usaha nih, Sabtu malem besok. Rini nemu tempat buat jualan di tempat yang lumayan ramai pas malem minggu.”
Anna ber-hmm sejenak. Rini adalah ketua divisi Dana Usaha untuk event ini. Heran, ia barusan bilang kalau kondisinya agak capek, tapi Aksa selalu punya cara untuk menambah “pekerjaannya” jika berkaitan dengan event lomba ini.
“Ya, boleh deh. Gue nebeng lo aja ya buat ke sana.” jawab Anna akhirnya, malas memusingkan mencari kendaraan.
Aksa mengangguk tanpa omongan apapun lagi. Seperti merasa puas dalam hati karena berhasil membuat stafnya ikut berpartisipasi.
Namun, Anna teringat sesuatu, “Eh, gue baru inget. Gue nggak apa-apa nebeng lo? Cewek lo gimana nanti?” tanyanya pelan.
Aksa mencibir. “Dia udah sama yang lain, dan bukan, dia bukan cewek gue.”
Anna menyipit curiga. Ia tahu dan pernah beberapa kali melihat kalau Aksa sedang dekat dengan salah satu cewek yang juga berasal dari Teknik Sipil sejak sebelum event perlombaan ini dimulai. Namun, ia baru tahu kalau hubungan mereka merenggang saat ini. Cewek itu juga sedang ikut di event lomba yang sama sekarang ini.
Sebetulnya, meskipun hanya orang luar, ia tahu kalau Aksa adalah cowok yang baik. Pengetahuan itu di luar dari kebiasaan Aksa yang sering menambah pekerjaannya sebagai staf di divisi HPD, tentunya. Anna cukup menyayangkan cowok dengan reputasi baik seperti Aksa bisa memiliki hubungan yang kurang baik dengan seorang perempuan.
“Ya asal dia nggak ngomong macem-macem aja, sih. Daritadi orangnya lirik ke sini terus tuh, nanti jadi salah gue.” ujar Anna akhirnya sambil bersiap pergi. Waktunya di acara rapat ini sudah selesai. Toh, yang lebih dibutuhkan di acara kumpul ini adalah Aksa, ketua divisinya.
Aksa menghela napas. “Biarin aja. Dia emang kayak gitu.”
Tanpa bicara lagi, Anna segera menyingkir dari tempat itu. Tidak mau dituduh macam-macam terutama oleh ‘mantan’ Aksa dan orang lain. Heran betul, di saat Ale menyebutnya “terlalu baik” seakan tidak peduli apapun, Aksa bisa dengan mudahnya membela cewek yang pernah dekat dengannya seakan masih ada kepedulian di dalam hati.
Di saat seperti ini, Anna berpikir muram kapan ada yang benar-benar peduli padanya seperti itu.
Sabtu malam, Anna sudah memimpikan berendam di bathtub dengan bath bomb andalannya ketika ia dibangunkan oleh realita pahit. Tangannya sudah pegal menawarkan barang-barang jualan ke orang-orang yang melintas, ditambah dengan tenggorokannya yang mulai serak. Orang-orang terus berlalu-lalang di sekitarnya, lengkap dengan hawa sumuk yang memenuhi tempat itu.
“Ya ampun, nyari duit susah banget ya.” desah Rini sambil mengipasi wajahnya. Peluh terlihat mengaliri dahinya. Sebetulnya, makanan dan minuman untuk penjualan malam ini telah banyak terjual. Hanya saja, Rini memang ratunya berjualan dan pantang menyerah sebelum barang jualannya benar-benar habis.
Firza menggeleng-geleng, “Udah mau habis kali itu, Rin. Lagipula, mumpung masih jam sembilan kenapa kita nggak sekalian jalan-jalan sebentar? Malem minggu nih!”
Anna kini bisa melihat Rini sudah menyabet Firza dengan sapu tangannya. “Kalau habis semuanya kan makin bagus, Za. Bilang aja lo mau pacaran kan!” tuduhnya sebal.
Firza mencibir pada Rini dan melirik Anna yang sudah tidak bersemangat. Salah satu alasannya mengikuti acara jualan di malam minggu ini adalah ia bisa memiliki alasan untuk bisa dekat dengan perempuan itu. Ia sudah merasa cukup kalah karena sempat terdengar kabar kedekatan Anna dan Ale. Untuk datang ke lokasi jualan malam ini pun, ia kalah cepat dengan Aksa untuk bisa menebengi perempuan itu.
Mau sampai kapan ia jadi pilihan ke dua begini?
Sebentar, memangnya Anna pernah benar-benar melihatnya?
Firza baru saja ingin mengajak Anna pulang dengan dirinya nanti ketika suara Aksa sudah terdengar, “Rin, gue sama Anna duluan ya. Udah ditanyain dia sama orang tuanya.”
Kini, Firza bisa melihat ekspresi terkejut Anna pada ucapan Aksa barusan. Namun, perkataan Aksa tadi berhasil membuat Rini luluh untuk menyudahi acara jualan di malam minggu kali ini, berhubung makanan dan minuman yang tersisa hanya tinggal sedikit dan hasil penjualan sudah memenuhi target.
“Lo sengaja ya biar segera pulang?” selidik Anna saat ia dan Aksa sudah berada di parkiran motor. Alasan untuk pulang lebih cepat tadi memang hanya akal-akalan Aksa tanpa berbicara dulu dengan Anna sebelumnya.
Cowok itu hanya nyengir sambil mengenakan helm, lalu men-starter motornya. Ia baru akan berlalu dengan Anna ketika suara Firza terdengar, “Na, hati-hati ya.” lengkap dengan senyum dan lambaian tangan.
Anna mengangguk, balas melambaikan tangan, merasa lega setengah mati akhirnya bisa pulang juga. Sementara itu, Aksa sudah mencibir di balik helmnya mendapati kemodusan Firza pada Anna.
“Na, lo laper nggak?” tanya Aksa ketika ia menghentikan motornya di lampu merah. “Kalau lo pulang agak malem karena makan dulu, nggak apa-apa?”
Aksa mendengar suara gumaman Anna ketika akhirnya sampai pada keputusan, “Nggak apa, kita makan dulu aja.”
Menyimpan sorakan senang dalam hati, Aksa segera mengarahkan motornya pada restoran cepat saji yang buka 24 jam. Perutnya sudah lapar sejak tadi dan Rini tidak terlihat tanda-tanda menyudahi dagangannya ketika berjualan.
“Gue liat-liat kayaknya lo akhir-akhir ini murung terus, Na.” Aksa membuka percakapan sambil mulai melahap makanannya. “Apa berita soal lo sama Ale betul, ya?”
Anna memutar mata. “Dari seluruh topik yang ada, lo milih bahas soal dia?”
Aksa tersenyum tipis. “Sorry, walaupun orang-orang sok nggak tahu, tapi mereka tahu pasti. Kadang malah Ale-nya sendiri yang nggak tegas kalau diledekin soal lo.” ujarnya membocorkan tingkah cowok itu saat mereka kumpul HMJ Teknik Sipil.
“Lo sendiri, bukannya juga udah ‘selesai’ juga sama cewek itu?” balas Anna tidak mau kalah. “Sejauh yang gue dengar, hubungan kalian juga memburuk ya?”
Aksa tersenyum tipis. Ia mengangkat bahu. “Begitulah. Nggak apa sih, gue udah nggak begitu sedih kayak pas di awal. Gue udah sadar aja kalau dia bukan cewek yang baik untuk gue.”
Mengenai keadaan dirinya dan Aksa, tidak ada yang mengira kalau mereka bernasib sama soal asmara. Anna menghela napas lalu melirik jam. Pukul setengah sebelas malam. Jalanan agak lebih macet tadi sehingga ia dan Aksa baru berhasil tiba di restoran ini satu setengah jam kemudian.
“Ya ampun, udah jam segini dan gue lagi makan di luar sama lo.” ujar Aksa sambil menegak cola-nya. “Orang tua lo nggak apa-apa?”
Anna tersenyum. “Nggak, lebih baik makan dulu katanya.” ia lalu menambahkan, “bukannya tadi lo yang nawarin makan, ya?”
Aksa nyengir. “Iya, gue takut aja nanti diomelin sama Papa lo. Pulangnya kok malem banget. Lagipula, ini pertama kalinya gue di luar sama perempuan jam setengah sebelas malam. Jadi, yaa, gue tanya gitu tadi.”
Anna meminum cola miliknya dan mengangguk. “Kenapa momen ‘pertama kali’ lo ini bareng gue, ya? Kenapa nggak sama cewek yang lebih spesial aja.” ia terkekeh.
Aksa menyandarkan tubuh, lantas tersenyum lagi, “Lo spesial kok, Na. Belum ketemu aja sama siapanya.”
Anna hanya bergumam dan menegak habis cola-nya, makanannya dan Aksa sudah tandas. “Spesial karena bisa lo kasih kerjaan desain buat event ini, ya?” sinis Anna, membuat Aksa terkekeh tidak mengambil pusing. “Habis ini balik, yuk.”
Setelah mereka tiba di tempat parkir, Aksa mengenakan helmnya dan berkata serius pada Anna, “Soal omongan gue tadi, gue beneran mikir kalau lo spesial, Na. Ale bukan cowok yang baik buat lo, dan nggak bisa melihat sesuatu yang spesial di diri lo. Cepat atau lambat, pasti cowok itu dateng kok, Na.”
Anna terdiam. Hatinya cukup menghangat mendengarnya. Sejurus kemudian, ia terkekeh, “Ada apa, nih? Gue disuruh begadang karena ada tugas desain dadakan apa gimana?” ujarnya berusaha mencairkan suasana.
Aksa tersenyum dan menyerahkan helm milik Anna. “Nggak, gue merasa perlu bilang gitu aja ke lo.” Ia lalu mengerling, “Selain karena biar nggak diomelin sama Papa lo aja sih, karena pulang kemaleman.”
Anna berdecak lalu tak urung mengangguk berterima kasih. Tak lama kemudian, ia dan Aksa sudah berkendara bersama menaiki motor di bawah naungan langit malam yang penuh dengan bintang. Mereka melintasi jalan raya menuju rumah Anna dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan.
Mereka sama-sama sedang merasa kehilangan dari orang yang mereka anggap spesial, tapi orang itu tidak menganggap mereka spesial sama sekali. Meski terlihat sama-sama sibuk di event ini, ada luka yang berusaha mereka sembuhkan dan tutupi.
Anna jadi ingat, kalau dua orang yang saling terluka bisa saling menyembuhkan, apakah keduanya bisa betul-betul bahagia?
Di gelapnya malam langit Depok, Anna menghela napas memikirkan pikirannya. Untuk hari esok, siapa yang tahu?
Yang ia tahu saat ini, hatinya harus sungguh berhati-hati dalam menerima orang baru.
Sungguh. Ia harus mengukir pesan itu di otak dan hatinya, mulai saat ini.