Ulang Tahun

Salsa Andhini
7 min readJan 30, 2021

--

ilustrasi dari PicsArt pngtree.com
Ilustrasi oleh pngtree.com di Pinterest

“KANKER?” kepala Maya berputar. Ia merasakan denyut di dahi. Sejenak, ruangan nuansa putih itu lengang. Hanya menyisakan suara jarum jam dan helaan napas ayahnya kini.

“Ganas, dok?” Suara ayahnya terdengar. Sarat kehati-hatian dan kekhawatiran.

Dokter di hadapan mereka menghela napas. Ia tahu salah satu tugas terberat menjadi dokter adalah ini, memberi tahu pada pasien hal yang sebenarnya tanpa membuat mereka merasa panik, khawatir atau bahkan membuat mereka ketakutan hingga mogok berobat.

“Menurut hasil pemeriksaan, ini masih terus berkembang. Saya tidak bisa memastikan secara absolut dengan sesumbar bilang ini jinak atau ganas.” dokter itu menatap kedua orang di hadapannya. Sorot matanya terlihat teduh, berusaha meneguhkan hati siapapun yang melihat. “Tapi, yang bisa saya yakini adalah penyakit ini bisa disembuhkan dengan disiplin mengonsumsi obat sesuai resep, juga rajin kontrol ke rumah sakit. Kanker ini bisa disembuhkan. Hanya ini perlu kedisiplinan dan keinginan kuat untuk sembuh, karena ia bisa berkembang kapan saja.”

Anwar menghela napas entah ke berapa kali siang ini. Maya melirik mata pada ayahnya. Lihat, bahkan ayahnya yang selalu terlihat kuat dan ceria kini dibuat lemas dengan informasi yang baru mereka terima siang hari ini.

Dokter tersebut tersenyum memandangi Ayah dan anak di hadapannya. “Saya akan berikan resep. Tolong rajin dan disiplin untuk minum obat, banyak makan makanan mengandung vitamin A dan C. Kaya akan serat dan air.” Ia lantas mencatat pada secarik kertas. Setelah selesai, ia menyerahkan kertas tersebut pada Maya karena Anwar masih terlihat membeku. “Saya yakin bapak pasti bisa. Yakinlah bahwa penyakit ini bisa sembuh.”

Sebelum Anwar selesai mencerna berita tersebut di kepalanya, Maya sudah bertanya, “Bagaimana dengan kemo, dok?”

Dokter itu mengangguk. “Melihat dari perkembangannya, lebih cepat lebih baik. Maksimal kemo bisa dimulai seminggu lagi.”

Anwar menatap nanar dokter itu. Bagaimana? Bagaimana bisa ia yakin pada penyakit ini yang nyaris membuat hidupnya cukup susah selama 1 bulan ini?

Seakan membaca pikiran pasiennya, dokter itu berkata, “Yakinlah. Yakinlah untuk sembuh. Saya yakin bapak pasti bisa.”

Dan, sesi pemeriksaan dengan dokter itupun berakhir.

“Aku nggak mau berobat lagi.”

Tiga kepala di ruang makan itu serentak mendongakkan kepala pada Anwar. Pria itu tetap lanjut makan dengan santai seolah ia hanya berkomentar tentang pertandingan sepak bola.

Ratri terdiam. Ibu rumah tangga itu menatap suaminya sejenak, lalu menghela napas pelan. Enam belas tahun mereka menikah, sifat keras kepala suaminya tidak juga berubah.

Maya menggantungkan sendok berisi makanan di tangannya. Nafsu makannya sirna. Segala rencana yang sudah dirancang untuk pengobatan ayahnya begitu selesai memeriksa ke dokter tadi seakan berantakan bahkan sebelum benar-benar memulai.

“Kenapa?” hanya suara Mala yang terdengar setelah suara Anwar tadi.

Perempuan termuda di rumah itu bertanya apa adanya, tanpa paksaan apapun.

Anwar mengangkat bahu sambil terus mengunyah makanan. Ia meneguk minumnya lalu menjawab, “Percuma.” ujarnya. Sifat alami keras kepalanya muncul ke permukaan. “Ayah nggak mau merepotkan. Ini nggak parah. Sesuai kata dokter tadi, Ayah akan makan makanan berserat dan kaya vitamin A dan C. Pasti beres.”

Maya mengerutkan kening. Semudah itu? Ia dengan Ibunya sudah mengatur pengobatan ayahnya sedemikian rupa, dan ini tanggapannya?

“Ayah nggak mau sembuh?” tanya Maya pelan. Ia menunduk menatap piring makannya. “Aku sama Ibu sudah — “

“Pasti sembuh.” lagi, suara bernada keras kepala Anwar terdengar. “Ayah pasti bisa sembuh tanpa merepotkan kalian.”

Maya mendongak menatap Ayahnya. Kenapa? Kenapa Ayahnya tidak juga mengerti? “Kita keluarga, Yah. Kita nggak merasa direpotkan dan masalah selama Ayah mau berobat dan sembuh.”

“Ayah kan seminggu lagi ulang tahun.” hibur Ratri sambil tersenyum lembut. Seakan kelembutannya itu bisa meluluhkan sifat keras suaminya. “Biar seminggu lagi pas ulang tahun mudah-mudahan bisa membaik.”

Anwar hanya mengangguk-angguk. Kedua tangannya terus bergerak mengambil makanan. Menyisakan suara sendok dan garpu yang beradu di permukaan keramik piring tersebut.

Mala tersenyum lebar. “Iya, nanti kita rayain bareng.” ujarnya semangat. Kontras dengan aura di ruang makan tersebut.

Anwar bangkit dari duduknya. Piringnya sudah tandas. “Ya, makasih. Ayah akan coba sendiri dulu.”

Dan, begitu saja, makan malam keluarga yang sudah dilakukan sejak dulu malam itu berakhir.

Senyum semangat yang menghiasi wajah Mala pun menghilang.

Anwar menatap langit malam yang terlihat di jendela kamarnya dengan Ratri. Ia tidak bisa tidur. Berbagai pikiran dari rentetan kejadian hari ini sukses membuat kedua matanya enggan terpejam.

Ia tahu, kalimatnya tadi terdengar cukup keras untuk ketiga perempuan dalam hidupnya.

Namun, ia juga tahu bahwa berita mengenai kesehatannya hari ini juga membuatnya cukup terguncang. Masih lekat dalam ingatannya ketika ia merasa kesulitan bernapas sebulan terakhir. Memang, sebelum ini ia seorang perokok, tapi ia sudah berhenti sejak tiga bulan lalu.

Apakah itu masih berpengaruh?

‘Ya.’ bahkan suara dokter tadi masih menggema dalam otaknya.

Kanker paru yang ternyata telah menggerogotinya membuat rasa semangatnya meredup.

Anwar menghela napas pelan, takut Ratri sadar ia belum tidur. Ulang tahunnya seminggu lagi. Bahkan ia sudah merencanakan ulang tahunnya untuk bisa dirayakan bersama sekeluarga. Ia sudah berencana memesan salah satu hotel untuk mereka menginap.

Namun, berita mengenai kesehatannya membuatnya mengurungkan niat tersebut.

Perlahan, kedua matanya terpejam karena merasa lelah dan mengantuk. Ia bertekad ia akan mengikuti anjuran dokter. Ia akan segera sembuh.

Sehat seperti sedia kala.

Tiga hari sebelum hari ulang tahunnya tiba, Anwar sedang menyapu di halaman rumahnya di pagi hari. Rumah sedang kosong. Ratri sedang berbelanja di warung depan komplek, Maya bekerja sejak pagi dan Mala bersekolah.

Biasanya, jika satu rumah sedang sibuk begini, Anwar sering mencari kesibukan sendiri dengan membuat artikel di komputer jadul kamarnya. Meskipun jadul, komputer tersebut berhasil mengantarnya menjadi salah satu jurnalis berpengaruh dengan kekuatan tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar maupun media-media digital sejak dulu hingga kini.

Namun, lagi, karena berita penyakitnya, semangat menulisnya meredup. Kalimat-kalimat dalam kepalanya seakan menguap tidak membekas.

Tidak menyisakan inspirasi — bahkan niat.

Anwar menarik napas lalu menghelanya ketika tiba-tiba ia merasakan kesulitan bernapas yang teramat sangat. Sapu yang dipegangnya jatuh. Ia terjatuh terduduk, berhasil membuat tukang koran yang kebetulan datang panik bukan main dan segera memanggil pertolongan.

Lima belas detik ia masih tersadar kalau orang-orang mengerumuninya, lalu semuanya gelap.

Suasana rumah sakit di sore hari itu terlihat cukup ramai. Beberapa pasien maupun keluarga yang datang berkunjung terlihat di lobby rumah sakit. Dokter dan beberapa perawat terlihat di tempat-tempat strategis.

Pukul tiga sore, Anwar terbangun.

“Ayah!” seru Mala segera menghampirinya, diikuti Ratri dan Maya yang menatapnya cemas.

Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, dahi Anwar mengerut menyadari hidungnya tertutup selang oksigen. “Kok Maya dan Mala sudah pulang?” tanyanya lirih. Menyadari kesedihan yang menerpanya begitu menyadari kalau untuk mengeluarkan suara saja ia butuh tenaga yang cukup kuat.

Ratri memukul lengan suaminya pelan, setengah sebal dan tidak habis pikir. “Ayah susah napas tadi terus pingsan dari pagi. Anak-anak langsung izin pulang.”

Maya mengangguk angguk. “Ayah nggak apa-apa? Masih susah napas?” tanyanya, air mata sudah menggenangi pelupuk matanya. “Nggak apa-apa, Yah. Ada kita di sini. Ayah jangan takut.”

Anwar nyaris menitikkan air mata ketika pintu kamar rawatnya terbuka. Seorang dokter yang menanganinya beberapa hari lalu muncul dengan seorang perawat.

Selanjutnya, ia tidak terlalu mendengar perkataan mereka karena sibuk memikirkan hidungnya yang masih terasa sulit bernapas meskipun sudah dibantu selang dan tabung oksigen.

‘Biar seminggu lagi pas ulang tahun mudah-mudahan bisa membaik.’

‘Iya, nanti kita rayain bareng.’

‘Ayah nggak mau sembuh?’

‘Kita keluarga, Yah.’

Suara ketiga perempuan dalam hidupnya berputar di kepalanya.

Ayah pasti sembuh, pasti…

Hari itu, cuaca cerah. Langit biru tanpa awan, dengan semilir angin dan matahari bersinar hangat. Tidak panas, tapi juga tidak dingin.

Maya memeluk buket bunga lebih erat sementara tangannya yang lain bergandengan dengan Mala. Adiknya itu membawa satu totebag berisi soto kesukaan Ayahnya dan tas berisi pakaian ganti. Langkah mereka ringan memasuki lift rumah sakit.

Hari ini hari ulang tahun Anwar.

Keluarga itu memutuskan untuk merayakan di rumah sakit. Maya dan Mala spesial izin tidak bekerja dan tidak bersekolah untuk menemani kedua orang tuanya.

Sejak pagi, keadaan Anwar membaik. Pernapasannya berangsur pulih meskipun masih harus dirawat inap di rumah sakit. Kemoterapi berlangsung lebih cepat dari hari yang ditargetkan karena musibah kesulitan napas Anwar tempo hari. Selang oksigen juga tidak selalu menempel di hidungnya, meskipun beberapa kali ia tetap harus mengenakannya untuk memperlancar dan mempermudah pernapasan.

“Wah, kalian bawa apa?” sapa Ratri yang sedang membetulkan posisi bantal untuk sandaran suaminya begitu Maya dan Mala memasuki kamar.

Pria itu tersenyum menatap kedua putrinya dan menerima pelukan mereka. “Kalian repot-repot banget.” komentarnya dan langsung dihadiahi lirikan tajam Ratri.

Lalu, Maya dan Mala segera menyajikan soto yang dibawa mereka ke mangkuk-mangkuk yang sudah dibawa sejak Anwar dirawat.

Tiga menit kemudian, hidangan siap. Anwar duduk tegak dengan meja tempat tidur dengan satu mangkuk soto mengepul panas. Begitu juga dengan Ratri, Maya dan Mala.

Mereka saling tersenyum sementara Anwar menatap sotonya dengan perasaan campur aduk.

“Selamat ulang tahun, Ayah.” ucap mereka bertiga dengan senyuman lebar.

“Sengaja pakai soto buat ganti kue ulang tahun karena Ayah kemarin bilang kangen sama soto depan komplek.” ujar Maya, masih tersenyum hangat.

Mala nyengir. “Selamat ulang tahun, Ayah! Ayah pasti sembuh!” ucapnya semangat.

Ratri tersenyum lembut menahan haru sambil menggenggam salah satu tangan suaminya.

Perlahan, setitik airmata mengalir di pipi Anwar. Ia tersenyum, merasa bersalah pada kalimatnya seminggu lalu di ruang makan.

“Terima kasih ya.” katanya pelan.

Ulang tahun.

Anwar mengucap syukur dalam hati saat mereka berdoa. Ia sangat bersyukur bisa berulang tahun di kelilingi keluarganya yg sangat menyayanginya melebihi dirinya sendiri.

‘Ayah pasti sembuh!’ suara Mala menggema di kepalanya.

Ya. Selamat ulang tahun, Anwar.

Sembuhlah. Sembuhlah untuk keluargamu.

Selesai melantunkan doa, keluarga itu mengangkat kepala, dan mulai menyantap soto bening yang dibeli tadi bersama.

Kehangatan soto dan keluarga menguar di kamar rawat inap itu, bersama dengan doa dan harapan yang dilantunkan dalam hati.

--

--

Salsa Andhini
Salsa Andhini

Written by Salsa Andhini

living in a world made of food, coffee, books, & cats in a garden full of flowers🌻

No responses yet